Legenda Bukit Kelam
Bukit Kelam merupakan salah satu obyek wisata alam yang eksotis di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Bukit yang telah menjadi Kawasan Hutan Wisata ini mempunyai panorama alam yang memesona, yaitu berupa pemandangan air terjun, gua alam yang dihuni oleh ribuan kelelawar, dan sebuah tebing terjal setinggi kurang lebih 600 meter yang ditumbuhi pepohonan di kaki dan puncaknya. Dibalik pesona dan eksotisme Bukit Kelam, tersimpan sebuah kisah yang cukup menarik. Konon, Bukit Kelam dulunya merupakan sebuah rantau.[1] Namun, alasannya yaitu terjadi suatu peristiwa, maka kemudian rantau itu bermetamorfosis menjadi Bukit Kelam. Bagaimana kisahnya sehingga rantau itu bermetamorfosis menjadi bukit yang indah dan memesona? Kisahnya sanggup Anda ikuti dalam kisah Legenda Bukit Kelam berikut ini.
* * *
Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan ilahi yang mempunyai kesaktian tinggi, namun keduanya mempunyai sifat yang berbeda. Yang pertama berjulukan Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia mempunyai sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh mempunyai ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh alasannya yaitu itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya berjulukan Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia mempunyai sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jikalau setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan memakai bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan gampang ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai hingga ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.
Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh alasannya yaitu tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji sanggup melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, alasannya yaitu tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu menciptakan Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
”Wah, gawat jikalau keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.
Sejenak ia merenung untuk mencari cara biar ikan-ikan yang ada di daerah Sungai Melawi habis. Setelah beberapa usang berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan watu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun tetapkan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh alasannya yaitu jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar bunyi wanita sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan hingga di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang dipakai untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit watu terjatuh dan karam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
”Enyahlah kamu duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk dipakai mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah menempel pada Jetak, sehingga bukit panjang yang dipakai mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat murka dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan dipakai sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jikalau dipandang dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melaksanakan upacara sesajian akhlak yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memperlihatkan makan kepada seluruh hewan dan roh jahat di sekitarnya biar tidak menghalangi niatnya dan berharap sanggup membantunya hingga ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa hewan yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak sanggup menikmati sesajiannya. Binatang itu yaitu kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat murka dan murka, alasannya yaitu merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji biar tidak mencapai kayangan.
”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.
”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” terperinci Raja Beruang.
Seluruh penerima rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, baiklah dengan pendapat Raja Beruang.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh alasannya yaitu jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada ketika Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar bunyi keras yang teramat dahsyat.
”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”
Beberapa ketika kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar bunyi Bujang Beji menjerit meminta tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah perjuangan Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari tragedi yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, badan Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji bermetamorfosis menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang dipakai Bujang Beji untuk mencongkelnya bermetamorfosis menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji ketika menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.
* * *
Demikian kisah Legenda Bukit Kelam dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk dalam kisah pola yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang sanggup dipetik dari kisah di atas, yaitu akhir yang ditimbulkan dari sikap iri hati dan tamak, dan keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat. Sifat iri hati dan tamak tercermin pada sifat dan sikap Bujang Beji yang hendak menguasai ikan milik Temenggung Marubai yang ada di Sungai Melawi. Dari sini sanggup diambil sebuah pelajaran, bahwa sifat tamak dan serakah sanggup mengakibatkan seseorang menjadi iri dan dengki. Sifat ini tidak patut dijadikan sebagai suri pola dalam kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk asuh Melayu:
* * *
Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan ilahi yang mempunyai kesaktian tinggi, namun keduanya mempunyai sifat yang berbeda. Yang pertama berjulukan Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia mempunyai sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh mempunyai ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh alasannya yaitu itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya berjulukan Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia mempunyai sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jikalau setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan memakai bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan gampang ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai hingga ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.
Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh alasannya yaitu tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji sanggup melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, alasannya yaitu tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu menciptakan Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
”Wah, gawat jikalau keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.
Sejenak ia merenung untuk mencari cara biar ikan-ikan yang ada di daerah Sungai Melawi habis. Setelah beberapa usang berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan watu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun tetapkan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh alasannya yaitu jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar bunyi wanita sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan hingga di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang dipakai untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit watu terjatuh dan karam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
”Enyahlah kamu duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk dipakai mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah menempel pada Jetak, sehingga bukit panjang yang dipakai mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat murka dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan dipakai sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jikalau dipandang dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melaksanakan upacara sesajian akhlak yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memperlihatkan makan kepada seluruh hewan dan roh jahat di sekitarnya biar tidak menghalangi niatnya dan berharap sanggup membantunya hingga ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa hewan yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak sanggup menikmati sesajiannya. Binatang itu yaitu kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat murka dan murka, alasannya yaitu merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji biar tidak mencapai kayangan.
”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.
”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” terperinci Raja Beruang.
Seluruh penerima rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, baiklah dengan pendapat Raja Beruang.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh alasannya yaitu jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada ketika Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar bunyi keras yang teramat dahsyat.
”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”
Beberapa ketika kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar bunyi Bujang Beji menjerit meminta tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah perjuangan Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari tragedi yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, badan Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji bermetamorfosis menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang dipakai Bujang Beji untuk mencongkelnya bermetamorfosis menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji ketika menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.
* * *
Demikian kisah Legenda Bukit Kelam dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk dalam kisah pola yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang sanggup dipetik dari kisah di atas, yaitu akhir yang ditimbulkan dari sikap iri hati dan tamak, dan keutamaan sifat suka bermusyawarah untuk mufakat. Sifat iri hati dan tamak tercermin pada sifat dan sikap Bujang Beji yang hendak menguasai ikan milik Temenggung Marubai yang ada di Sungai Melawi. Dari sini sanggup diambil sebuah pelajaran, bahwa sifat tamak dan serakah sanggup mengakibatkan seseorang menjadi iri dan dengki. Sifat ini tidak patut dijadikan sebagai suri pola dalam kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam tunjuk asuh Melayu:
kalau orang tak tahu diri,
seumur hidup iri mengiri
apa tanda orang serakah,
berebut harta terbuan tuah
Sementara sifat suka bermusyawarah untuk mufakat terlihat pada sikap kawanan sampok dan beruang yang berusaha untuk menggagalkan planning buruk Bujang Beji yang hendak membinasakan dewi-dewi di kayangan. Menurut Tenas Effendy, melalui musyawarah dan mufakat, tunjuk asuh sanggup dikembangkan dengan pikiran, ide, atau gagasan yang sanggup disalurkan. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:
di dalam musyawarah,
buruk baiknya akan terdedah
di dalam mufakat,
berat ringan sama diangkat
Sumber:
Isi kisah diubahsuaikan dari. Anonim. (http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Liputankhusus&id=153887, diakses tanggal 12 Mei 2008).
Anonim. “Sintang”, (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, diakses tanggal 12 Mei 2008).
Anonim. “Rantau”, (http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php, diakses tanggal 12 Mei 2008).
Effendy, Tenas. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru, Bappeda Tingkat I Riau.
Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
Melayu Online
[1] Rantau berarti pantai sepanjang teluk (sungai); pesisir (lawan darat).
[2] Menuba artinya meracun ikan-ikan dengan tuba, yaitu homogen racun ikan dari akar tumbuh-tumbuhan hutan yang sangat memabukkan.
[3] Pohon kumpang mambu yaitu homogen kayu raksasa yang ujungnya menjulang tinggi ke angkasa.