INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Batu Menangis

Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dan berbatasan eksklusif dengan Sarawak, Malaysia Timur. Provinsi ini mempunyai ratusan sungai besar dan kecil, sehingga dijuluki sebagai wilayah “Seribu Sungai”. Menurut cerita, di sebuah kawasan di provinsi ini ada seorang gadis anggun yang bermetamorfosis menjadi batu. Peristiwa apa yang menimpa gadis itu, sehingga bermetamorfosis menjadi batu? Ingin tahu dongeng selengkapnya? Ikuti kisahnya dalam dongeng Batu Menangis Berikut ini!

* * *

Alkisah, di sebuah desa terpencil di kawasan Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda renta dengan seorang putrinya yang anggun jelita berjulukan Darmi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan.

Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Setiap sore ia selalu hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.

”Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu.

”Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.

”Apakah kau tidak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba.

”Tidak! Ibu saja yang sudah renta bekerja di sawah, alasannya mustahil lagi ada pria yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.

Mendegar balasan anaknya itu, sang Ibu tidak sanggup berkata-kata lagi. Dengan perasaan sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk dibelikan alat-alat kecantikan.

”Bu! Mana uang upahnya itu!” seru Darmi kepada Ibunya.

”Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini,” ujar sang Ibu.

”Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru,” kata Darmi.

”Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak mau bekerja,” kata sang Ibu kesal.

Meskipun marah, sang Ibu tetap menunjukkan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari.

Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan biar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu alat kecantikan yang beliau maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.

”Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.

”Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak permintaan Ibunya.

”Tapi, Ibu tidak tahu alat kecantikan yang kau maksud itu, Nak!” seru Ibunya.

Namun sehabis didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar.

”Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.

”Memang kenapa, Nak!” tanya Ibunya penasaran.

”Aku aib kepada orang-orang kampung kalau berjalan berdampingan dengan Ibu,” jawab Darmi.

”Kenapa harus malu, Nak? Bukankah saya ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu.

”Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku aib punya Ibu awut-awutan menyerupai itu!” seru Darmi dengan nada merendahkan Ibunya.

Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Sang Anak terlihat anggun dengan pakaian yang bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat renta dengan pakaian yang sangat kotor dan penuh tambalan.

Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.

”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu.

”Ke pasar!” jawab Darmi dengan pelan.

”Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah beliau ibumu?” tanya lagi temannya sambil menunjuk orang renta yang membawa keranjang.

”Tentu saja bukan ibuku! Dia yakni pembantuku,” jawab Darmi dengan nada sinis.

Laksana disambar petir orang renta itu mendengar ucapan putrinya. Tapi beliau hanya melamun sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Tidak berapa usang berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang.

”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.

”Hendak ke pasar,” jawab Darmi singkat.

”Siapa yang di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu.

”Dia pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Jawaban yang dilontarkan Darmi itu menciptakan hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih berpengaruh menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti, kemudian duduk di pinggir jalan.

”Bu! Kenapa berhenti?” tanya Darmi heran.

Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat lisan ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.

”Hei, Ibu sedang apa?” tanya Darmi dengan nada membentak.

Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan biar menghukum anaknya yang durhaka itu.

”Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi perilaku anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah eksekusi yang setimpal kepadanya!” doa sang Ibu.

Beberapa ketika kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan bunyi guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.

”Ibu...! Ibu... ! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil berteriak.

”Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!” seru Darmi semakin panik.

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak sanggup lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, sampai ke kepala. Gadis durhaka itu hanya sanggup menangis dan menangis meratapi perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan kejadian itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang menyerupai sedia kala. Seluruh tubuh Darmi telah bermetamorfosis menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, watu itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga masih sanggup kita saksikan sampai sekarang.

* * *

Demikian dongeng dari kawasan Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk dongeng contoh yang mengandung pesan-pesan moral yang sanggup dijadikan sebagai ajaran dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang sanggup dipetik dari dongeng di atas yakni akhir yang ditimbulkan dari perilaku durhaka terhadap orang tua. Oleh alasannya itu, seorang anak harus hormat dan patuh kepada kedua orang tuanya, alasannya doa ibu akan didengar oleh Tuhan.

Terkait dengan sifat durhaka ini, dalam tunjuk latih Melayu dikatakan:

kalau hidup mendurhaka,
kemana pergi akan celaka

kalau suka berbuat durhaka,
orang benci Tuhan pun murka
.



Sumber:
  • Isi dongeng disesuaikan dari "Cerpen: Batu Menangis”, (http://s.tf.itb.ac.id/ armanto/cerpen/batumenangis/, diakses tanggal 3 Mei 2008).
  • Anonim. “Cerita Rakyat Kalbar,” (http://www.geocities.com/kesumawijaya/ceritarakyat/kalbar1.html, diakses tanggal 3 Mei 2008).
  • Anonim. “Kalimantan Barat”, (http://ms.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Barat, diakses tanggal 3 Mei 2008).
  • Effendy, Tenas. 1994/1995. “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau. Pekanbaru, Bappeda Tingkat I Riau.
  • Melayu online

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel