Legenda Lau Kawar
Danau Lau Kawar, Kabupaten Karo, Sumatera Utara |
Pada zaman dahulu kala tersebutlah dalam sebuah kisah, ada sebuah desa yang sangat subur di daerah Kabupaten Karo. Desa Kawar namanya. Penduduk desa ini umumnya bermata pencaharian sebagai petani. Hasil panen mereka selalu melimpah ruah. Suatu waktu, hasil panen mereka meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Lumbung-lumbung mereka penuh dengan padi. Bahkan banyak dari mereka yang lumbungnya tidak muat dengan hasil panen. Untuk mensyukuri nikmat Tuhan tersebut, mereka pun bekerjsama untuk mengadakan selamatan dengan menyelenggarakan upacara adat.
Pada hari pelaksanaan upacara tabiat tersebut, Desa Kawar tampak ramai dan semarak. Para penduduk mengenakan pakaian yang berwarna-warni serta pelengkap yang indah. Kaum wanita pada sibuk memasak aneka macam macam masakan untuk dimakan bersama dalam upacara tersebut. Pelaksanaan upacara juga dimeriahkan dengan pagelaran ‘Gendang Guro-Guro Aron’, musik khas masyarakat Karo. Pada pesta yang hanya dilaksanakan setahun sekali itu, seluruh penduduk hadir dalam pesta tersebut, kecuali seorang nenek bau tanah renta yang sedang menderita sakit lumpuh. Tidak ketinggalan pula anak, menantu maupun cucunya turut hadir dalam program itu.
Tinggallah nenek bau tanah itu seorang sendiri terbaring di atas pembaringannya. “Ya, Tuhan! Aku ingin sekali menghadiri pesta itu. Tapi, apa dayaku ini. Jangankan berjalan, bangkit pun saya sudah tak sanggup,” ratap si nenek bau tanah dalam hati.
Dalam keadaan demikian, ia hanya sanggup membayangkan betapa meriahnya suasana pesta itu. Jika terdengar sayup-sayup bunyi Gendang Guro-guro Aron didendangkan, teringatlah ketika ia masih remaja. Pada pesta Gendang Guro-Guro Aron itu, sampaumur pria dan wanita menari berpasang-pasangan. Alangkah bahagianya saat-saat ibarat itu. Namun, semua itu hanya tinggal kenangan di masa muda si nenek. Kini, tinggal siksaan dan penderitaan yang dialami di usia senjanya. Ia menderita seorang diri dalam kesepian. Tak seorang pun yang ingin mengajaknya bicara. Hanya deraian air mata yang menemaninya untuk menghilangkan bebannya. Ia seolah-olah merasa ibarat sampah yang tak berguna, semua orang tidak ada yang peduli padanya, termasuk anak, menantu serta cucu-cucunya.
Ketika tiba saatnya makan siang, semua penduduk yang hadir dalam pesta tersebut berkumpul untuk menyantap kuliner yang telah disiapkan. Di sana tersedia daging panggang lembu, kambing, babi, dan ayam yang masih hangat. Suasana yang sejuk menciptakan mereka bertambah lahap dalam menikmati aneka macam sajian tersebut. Di tengah-tengah lahapnya mereka makan sekali-kali terdengar tawa, alasannya yaitu di antara mereka ada saja yang menciptakan lelucon. Rasa besar hati yang hiperbola menciptakan mereka lupa diri, termasuk anak dan menantu si nenek itu. Mereka benar-benar lupa ibu mereka yang sedang terbaring lemas sendirian di rumah.
Sementara itu, si nenek sudah merasa sangat lapar, alasannya yaitu semenjak pagi belum ada sedikit pun kuliner yang mengisi perutnya. Kini, ia sangat mengharapkan anak atau menantunya ingat dan segera mengantarkan makanan. Namun, sehabis ditunggu-tunggu, tak seorang pun yang datang.
“Aduuuh…! Perutku rasanya melilit-lilit. Tapi, kenapa hingga ketika ini anak-anakku tidak mengantarkan kuliner untukku?” keluh si nenek yang badannya sudah gemetar menahan lapar. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia mencoba mencari kuliner di dapur, tetapi ia tidak mendapat apa-apa. Rupanya, sang anak sengaja tidak memasak pada hari itu, alasannya yaitu di tempat upacara tersedia banyak makanan.
Akhirnya, si nenek bau tanah terpaksa beringsut-ingsut kembali ke pembaringannya. Ia sangat kecewa, tak terasa air matanya keluar dari kedua kelopak matanya. Ibu bau tanah itu menangisi nasibnya yang malang.
“Ya, Tuhan! Anak-cukuku benar-benar tega membiarkan saya menderita begini. Di sana mereka makan enak-enak hingga kenyang, sedang saya dibiarkan kelaparan. Sungguh kejam mereka!” kata nenek bau tanah itu dalam hati dengan perasaan kecewa.
Beberapa ketika kemudian, pesta makan-makan dalam upacara itu telah usai. Rupanya sang anak gres teringat pada ibunya di rumah. Ia kemudian segera menghampiri istrinya.
“Isriku! Apakah kau sudah mengantar kuliner untuk ibu?” tanya sang suami kepada istrinya.
“Belum?” jawab istrinya.
“Kalau begitu, tolong bungkuskan makanan, kemudian suruh anak kita menghantarkannya pulang!” perintah sang suami.
“Baiklah, suamiku!‘ jawab sang istri.
Wanita itu pun segera membungkus kuliner kemudian menyuruh anaknya, “Anakku! Antarkan kuliner ini kepada nenek di rumah!” perintah sang ibu.
“Baik, Bu!” jawab anaknya yang pribadi berlari sambil membawa kuliner itu pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, anak itu segera menyerahkan kuliner itu kepada neneknya, kemudian berlari kembali ke tempat upacara. Alangkah senangnya hati sang nenek. Pada saat-saat lapar ibarat itu, tiba-tiba ada yang membawakan makanan. Dengan perasaan gembira, sang nenek pun segera membuka bungkusan itu. Namun betapa kecewanya ia, ternyata isi bungkusan itu hanyalah sisa-sisa makanan!!.
Beberapa potong tulang sapi dan kambing yang hampir habis dagingnya. “Ya, Tuhan! Apakah mereka sudah menganggapku ibarat binatang. Kenapa mereka memberiku sisa-sisa kuliner dan tulang-tulang,” gumam si nenek bau tanah dengan perasaan kesal.
Sebetulnya bungkusan itu berisi daging panggang yang masih utuh. Namun, di tengah perjalanan si cucu telah memakan sebagian isi bungkusan itu, sehingga yang tersisa hanyalah tulang-tulang.
Si nenek bau tanah yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya, menerka anak dan menantunya telah tega melaksanakan hal itu. Maka, dengan perlakuan itu, ia merasa sangat murung dan terhina. Air matanya pun tak terbendung lagi. Ia kemudian berdoa kepada Tuhan semoga mengutuk anak dan menantunya itu.
“Ya, Tuhan!” Mereka telah berbuat durhaka kepadaku. Berilah mereka pelajaran!” wanita bau tanah itu memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Baru saja kalimat itu lepas dari verbal si nenek tua, tiba-tiba terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat. Langit pun menjadi mendung, guntur menggelegar bagai memecah langit, dan tak usang kemudian hujan turun dengan lebatnya.
Seluruh penduduk yang semula bersuka-ria, tiba-tiba menjadi panik. Suara jerit tangis meminta tolong pun terdengar dari mana-mana. Namun, mereka sudah tidak sanggup menghindar dari keganasan alam yang sungguh mengerikan itu.
Dalam sekejap, desa Kawar yang subur dan makmur tiba-tiba tenggelam. Tak seorang pun penduduknya yang selamat dalam insiden itu. Beberapa hari kemudian, desa itu berubah menjadi sebuah kawah besar yang digenangi air. Oleh masyarakat setempat, kawah itu diberi nama ‘Lau Kawar’.
Demikianlah kisah wacana Asal Mula Lau Kawardari daerah Tanah Karo, Sumatera Utara. Cerita di atas termasuk kisah rakyat rujukan yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada tiga pesan moral yang sanggup dipetik dari kisah di atas, yaitu terpelajar mensyukuri nikmat, menjauhi sifat durhaka kepada orang tua, dan menyia-nyiakan amanat.
**********
merupakan sebuah legenda yang berkembang di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Kabupaten yang mempunyai wilayah seluas 2.127,25 km2 ini terletak di dataran tinggi Karo, Bukit Barisan, Sumatera Utara.
Oleh alasannya yaitu wilayahnya terletak di dataran tinggi, sehingga kabupetan ini dijuluki Taneh Karo Simalem. Kabupaten ini mempunyai iklim yang sejuk dengan suhu berkisar antara 16 hingga 17C dan tanah yang subur. Maka tidak heran, bila daerah ini sangat kaya dengan keindahan alamnya. Salah satunya yaitu keindahan Danau Lau Kawar, yang terletak di Desa Kuta Gugung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Air yang bening dan tenang, serta bunga-bunga anggrek yang indah, yang mengelilingi danau ini menjadi pesona alam yang mengagumkan.Menurut masyarakat setempat, sebelum terbentuk menjadi sebuah danau yang indah, Danau Lau Kawar yaitu sebuah desa yang berjulukan ‘Kawar’. Dahulu, daerah tersebut merupakan tempat pertanian yang sangat subur. Mata pencaharian utama penduduknya yaitu bercocok tanam. Hasil pertanian mereka selalu melimpah ruah, meskipun tidak pernah menggunakan pupuk dan obat-obatan ibarat kini ini. Suatu waktu, terjadi malapetaka besar, sehingga desa Kawar yang pada awalnya merupakan sebuah desa yang subur berubah menjadi menjadi sebuah danau
Sumber :
https://womentalkingfitstyle.blogspot.com//search?q=19/legenda-lau-kawar
http://sumateratravel.blogspot.com/2011/04/lau-kawar