INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Legenda Prasasti Munjul

Oleh Malvin Dwi Ruda

Prasasti Munjul
Perairan Ujung Kulon

SEBUAH bahtera nelayan berpenumpang tiga orang tampak melaju pelan membelah pantai yang lembap tenang. Siang itu matahari bersinar tak terlalu terik sehingga angin yang bertiup pun terasa tak terlalu menyengat.

“Dengan hasil tangkapan sebanyak ini, kita bisa istiraltat satu dua hari di darat.” Salah seorang nelayan mengungkapkan kegembiraan hatinya sambil menimang-nimang ikan hasil tangkapan mereka, senyumnya tampak begitu cerah.

“Ya,” jawab mitra yang ada di sebelahnya, “Ini kesempatanku untuk bisa lebih usang berkumpul dengan isteriku.”

“Tiap pulang, saya merasa istriku kian bagus saja dibanding ikan apa pun!” sambut nelayan pertama lagi. Sementara Itu. lelaki pendayung yang berada di belakang kedua temannya tampak menguping perbincangan kedua temannya itu. Wajahnya tampak begitu polos dan dengan lugunya ia mengajukan pertanyaan menyela pembicaraan kedua orang itu.

“Apa sih yang kalian bicarakan?”

Kedua temannya mendengar terang pertanyaan dari lelaki pendayung namun mereka menganggapnya sepi dan terus saja melanjutkan pembicaraan mereka.

“Kau tahu? Aku bahkan sudah menyiapkan kuda laut!” kata orang kedua. Dan disambut dengan penuh minat oleh orang pertama.

“Wah? Kau menangkapnya? Boleh minta satu?”

Belum sempat orang kedua menjawab pertanyaan itu, lelaki pendayung yang merasa tak diacuhkan dengan tampang tak bersalah kembali mengajukan pertanyaan.

“Apa ada hubungannya antara ikan dengan istri kalian?”

Pertanyaan lelaki pendayung kali ini menerima reaksi, bahkan lebih dari yang ia bayangkan. Kedua temannya memandang ke arahnya sambil bersama-sama berkata-kata dengan bunyi keras. “Diam kau, Perjaka!”

Kedua temannya memandang lelaki pendayung dengan alis berkerut, sepertinya mereka sudah merasa terganggu dengan pertanyaan lelaki pendayung. Adapun halnya dengan lelaki pendayung sendiri, demi melihat reaksi kedua temannya yang demikian itu, ia hanya bisa merungkut gugup sambil menggigit batang dayung. Dia hanya berkata-kata dalam hati dengan penuh ketidakmengertian. “Kenapa mereka marah” Rasanya tak ada yang salah dengan perkataanku.”

Kedua sahabat lelaki pendayung kemudian kembali melanjutkan perbincangan mereka dan membelakanginya. Dengan wajah kesal lelaki pendayung membuang muka dan mengumpat dalam hati. “Sombong! Mentang-mentang saya belum punya isteri”

Pantai berpasir putih daerah mereka menyandarkan bahtera sudah terlihat. Perahu mereka kini melaju meyusuri sepanjang tepian pantai sebelum jadinya tiba di daerah tujuan. Namun ketika mereka tiba di sebuah tikungan pantai yang terlindung oleh pepohonan lebat, muncul sebuah bahtera lain dari balik tikungan itu. Mula-mula hanya potongan depan kapal yang terlihat dan usang kelamaan terlihatlah seluruh potongan kapal itu. Kapal itu tidak terlalu besar namun bila dibanding dengan bahtera ketiga orang orang itu, ukurannya tiga kali lebih besar, lengkap dengan tiang layar dan empat dayung di masing-masing sisinya.

Kapal yang muncul tiba-tiba itu seketika mengagetkan kedua sahabat lelaki pendayung. Jarak mereka terlalu bersahabat dan mungkin sekali akan terjadi tabrakan bila tidak segera dibelokkan arahnya. Keduanya berseru kaget. “I… itu! “

Dengan tergagap, mereka berteriak pada lelaki pendayung. “Belokkan perahu! Belokkan perahu!”

Adapun lelaki pendayung, insiden tadi masih membuatnya kesal. Dengan hirau tak hirau ia berpura-pura tak mendengar teriakan gugup temannya. Sambil memandang ke lain arah dan memejamkan mata, ia asyik bersiul-siul. Lelaki pendayung bermaksud hanya ingin membalas perilaku kedua temannya tadi yang tidak mengacuhkannya, namun balasannya ini tampak terlalu berlebihan, seharusnya ia mendengar dan bisa membedakan antara perkataan biasa dengan teriakan-teriakan gugup. Dan mungkin apabila ia melihat apa yang bantu-membantu tengah terjadi, sikapnya itu niscaya akan sangat disesalinya kelak.

Tabrakan akan segera terjadi, kedua sahabat lelaki pendayung sudah tak sempat lagi untuk berteriak-teriak kepada lelaki pendayung atau pun melaksanakan perbuatan lain. Bahkan untuk menghindar dan menyelamatkan diri saja mereka sudah tak ingat. Mereka merungkutkan tubuh dan menanti dengan pasrah segala yang akan terjadi. Namun di saat-saat genting itu, kapal yang ada di depan mereka tiba-tiba membelokkan perahunya dan tabrakan pun terhindar. Kapal itu melaju searah dan berdampingan dengan bahtera ketiga nelayan itu. Dan sebelum ketiga nelayan itu menyadari, beberapa utas tali melayang dari arah kapal itu. Lelaki pendayung masih asyik bersiul-siul dan tak menyadari jikalau seutas tali telah melayang di dekatnya. Tali itu tiba-tiba mendarat di tubuhnya dan berputar ke arah leher. Lelaki pendayung terkejut dan melihat apa yang tengah menjalar di lehernya, namun ia tak sempat berbuat apa-apa. Karena ketika ia sadar dan tahu apa yang melilit lehernya, tali yang pada ujungnya diikatkan sebuah pemberat dari kayu itu tiba-tiba ditarik dengan kencang ke atas. Lelaki pendayung tercekik dan tubuhnya terangkat mengikuti arah tarikan tali. Sementara itu, tali-tali yang lain tampak melilit dan mengikat di beberapa potongan perahu. Perahu tertarik ke samping dan menciptakan posisinya agak miring. Kedua sahabat lelaki pendayung tahu dan sadar apa yang tengah terjadi pada bahtera mereka namun mereka belum mengerti apa maksud dari semua itu. Mereka kemudian memandang ke arah kapal di samping bahtera mereka dan mencari-cari kalau-kalau ada seseorang yang sanggup ditanyakan.

Pencarian mereka segera terjawab. Di sana, di atas kapal, di bawah sorotan matahari siang, sesosok tubuh tampak berdiri santai dan tampak tengah mengawasi mereka. Kedua nelayan mengangkat tangan untuk menghalangi silaunya sinar matahari ketika mereka memandang ke atas, ke arah kapal daerah sosok tubuh itu berada. Saat itu terdengar sosok itu berkata-kata kepada mereka.

“Banyak juga tangkapan kalian! Kalian niscaya tengah memikirkan kesenangan sehingga tak menyadari kehadiran kami!”

Sambil memicingkan mata, salah satu nelayan memberanikan diri mengajukan pertanyaan.”Siapa kalian dan mau apa?”

Sosok itu menjawab sambil berkacak pinggang dan menepuk dada. “Kami ialah perompak! Dan kami bahagia sekali mengganggu kesenangan orang!” Saat itu sosok itu merendahkan dan memajukan tubuhnya sehingga wajahnya kini sanggup terlihat oleh para nelayan. Sosok yang mengaku perompak itu bertubuh tinggi besar. Dia mengenakan baju sebatas pangkal lengan, baju itu terbuka dan tak menutupi dadanya yang bidang dan berotot dengan bulu-bulu lebat, sementara sebuah kalung besar berwarna kuning emas tampak menggantung di depan dadanya. Di potongan bawah, ia hanya mengenakan selembar kain sebatas pertengahan paha.

Wajahnya yang ditumbuhi kumis tebal melintang dan jenggot lebat tak terurus tampak bengis ketika berkata-kata. Dengan rambut panjang sebahu dan sebelah anting besar berwarna kuning emas juga, dilengkapi secarik kain ikat kepala melilit keningnya dengan salah satu potongan menutup mata sebelah kiri.

“Serahkan milik kalian jikalau ingin selamat!”

Dua nelayan tak bisa berkata-kata, tapi tiba-tiba saja terdengar bunyi lantang menyambut ucapan perompak itu. “Enak saja! Susah payah kami mencari ikan di bahari kemudian kalian ingin memintanya begitu saja? Huu!”

Semua mereka menoleh ke arah suara. Tampak lelaki pendayung dengan wajah kesal memandang ke arah perompak itu. Dia tampak terlentang dengan leher terikat tali. Dengan geram ia menarik-narik tali itu dengan tangan dan kakinya menciptakan tubuhnya yang kurus itu tertekuk sedemikian rupa dan malah jadi terlihat lucu. Perompak itu memicingkan mata. Dia kemudian membuang muka ke arah lain dengan acuhnya.

“Kalau begitu, kembalilah ke bahari dan bersusah payahlah lagi!”

Usai berkata begitu, dengan hening perompak bertubuh katai itu menyentakkan tali yang mengikat lelaki pendayung. Lelaki pendayung kontan melotot dengan leher terjulur alasannya ialah tercekik. Tubuhnya terangkat dari bahtera dan melayang ke depan kemudian masuk ke dalam air.

Seorang perompak bertubuh katai melongok dari dinding kapal. “Ooh! Mungkin ini artinya `berakit-rakit ke hulu berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu kemudian berenang mati-matian’, yaaa?!”

Sementara itu, tanpa membuang waktu, perompak bertampang menyeramkan tadi segera memberi perintah kepada perompak-perompak lainnya. “Ayo pindahkan ikan-ikan mereka ke kapal kita!”

Para perompak segera bergerak mengikuti perintah itu. Seorang perompak bertubuh jangkung dan kurus menggamit lengan perompak bertubuh katai.”Ayo!”

Dengan lagak angkuh, si perompak bertubuh katai mengacungkan telunjuknya di depan wajah. “Diamlah! Kalau itu, saya sudah tahu artinya!”

Tapi mendadak, seorang perompak yang berada di potongan belakang kapal bertenak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke satu arah. “Ketua! Lihat di sebelah sana!”

Semua menoleh ke arah yang ditunjukan oleh orang itu, dan di kejauhan, tampaklah sebuah bahtera yang berukuran dua kali lebih besar dari kapal itu tengah melaju hening berlawanan arah dengan kapal mereka. Seketika, perompak bertampang bengis yang dipanggil ketua itu melonjak-lonjak sambil menari kegirangan.

“Wah! Ini gres tangkapan besar!”

Perompak katai menyilangkan tangan di depan dadanya sambil berkata angkuh. “Tak persoalan bagiku!”

Dengan penuh semangat, ketua memberi perintah gres kepada anak buahnya sambil menunjuk ke arah kapal besar tadi. “Marl kita rusak kesenangan mereka!”

Seorang perompak bertubuh gemuk menarik tali yang tadi mengikat si pendayung. “Maaf, yah! Jangan marah! Talinya kami ambil kembali!” Dia menyentakkan tali itu dan seketika leher si pendayung terbebas sudah dari jeratan tali itu. Sambil berenang, lelaki pendayung menarik nafas lega. Dia segera menuju perahunya dan berpegangan di tepi perahu. Namun seketika itu juga, kedua temannya segera mengambil kesempatan untuk kabur. “Cepat kita pergi!” Tanpa menunggu lelaki pendayung naik kembali ke perahu, mereka segera mendayung bahtera itu dengan cepat sementara yang satunya lagi mendayung dengan memakai kedua tangannya. Lelaki pendayung dengan kelabakan berteriak-teriak kepada teman-temannya. Dia memegang tepi bahtera dengan kencang ketika bahtera mulai melaju. Air bahari bercipratan ke wajah lelaki pendayung.

Sementara itu, di kapal besar yang berbendera dengan lambang naga, seorang laki-laki bertubuh agak gemuk dengan pakaian aristokrat kerajaan keluar dari potongan dalam kapal. Saat itu seorang laki-laki lain tampak menghampiri sambil menundukan tubuhnya.

“Ada apa, Laksamana?” tanya aristokrat itu. Yang ditanya menjura dulu sebelum jadinya menjawab. “Ada dua bahtera di depan kita, Sang Menteri!”

Sang Menteri meninggikan kepalanya memandang ke depan. Lalu katanya lagi. “Biarkan saja! Tapi bila mereka berbuat sesuatu yang mencurigakan, kamu tahu apa yang harus dilakukan!” Laksamana menjura lagi. “Hamba, sang Menteri”‘ Sang Menteri mengangguk kemudian memandang lagi ke depan, kemudian ia berjalan masuk kembali ke potongan dalam kapal.

Beberapa usang kemudian, kedua bahtera saling berdekatan dan berpapasan. Para perompak berdiri di sisi kapal mereka. Para pendayung yang berada di kapal besar melongok ke rah mereka sambil mengangguk ramah. Salah seorang pendayung tampak berbisik kepada temannya. “Tampang mereka aneh-aneh, yah?” Temannya mengangguk dan melongok pula. Sambil mengangkat tangan dengan senyum lebar, ia menyapa perompak itu. “Hai, para nelayan! Apa kabar?”

Baru saja habis berkata-kata, seutas tali tiba-tiba melayang ke arah lehemya. Belum sempat ia menyadan hal Itu, tali sudah ditarik orang dan dan membelit ke arah leher dan kemudian disentakan. Seketika si pendayung ini tercekik dengan pengecap terjulur dan tubuhnyan tertarik pula ke depan. Lelaki pendayung tercebur ke dalam laut. Yang menarik tali itu ialah perompak bertubuh gemuk. Saat berhasil menceburkan lelaki pendayung, perompak katai bertanya padanya. “Apa itu artinya: tak ada basa-basi bagi perompak?”

Yang ditanya mengangguk sambil mengacungkan ibu jari. “Betul!”

Laksamana bertanya murka kepada perompak itu. “Hei! Apa yang kalian lakukan?”

Ketua perompak menjawab. “Kami ialah perompak yang menguasai perairan ini. Disambut oleh perompak bertubuh katai. “Betul!”

Laksamana berkata lagi. “Tahukah kalian? Kapal ini ialah milik kerajaan Tarumanegara! Dan di dalamnya ada seorang menteri Kerajaan!”

Ketua perompak membuang muka sambil berkata acuh. “Tidak peduli!”

Disambut kembali oleh si katai. “Itu artinya: kami akan tetap merampok kapal kalian!”

Baru habis kata-kata itu, si ketua perompak memberi perintah kepada anak buahnya. “Seraaaaaang!”

Melihat hal itu, sang Laksamana mencabut kerisnya dan memberi perintah pula kepada para awak kapalnya. “Pertahankan kapal dan lindungi sang Menteri hingga titik darah terakhir!”

Beberapa ahad kemudian.

Tampak dua orang tengah memancing di tepi pantai. Keduanya mengenakan pakaian mirip umumnya orang-orang pada masa itu, yaitu sehelai kain polos yang diikatkan di pinggang dan hanya menutupi tubuh potongan bawah. Orang yang bertubuh tinggi besar dan berparas cakap dengan rambut tergerai sebatas pundak tampak menyentakan pancingnya. “Dapat lagi!” katanya. Tak jauh di sampingnya temannya yang bertubuh jauh lebih kecil dan jauh lebih pendek dengan rambut digelung ke atas hanya bisa memandang dengan kesal. “Huh!” Tapi mendadak wajahnya berubah cerah. Dia merasa pancingnya ditarik. “Nah! Setelah sekian lama. jadinya kamu makan juga umpanku!” Dia berkemas-kemas untuk menarik pancingnya. Temannya yang berjulukan Bhimaparakrama atau biasa dipanggil Bhima, mendekat dan bertanya.

“Ada apa, Wamana? Ada yang memakan umpanmu?”

Yang ditanya menjawab sombong. “Tentu! Kau kira cuma kamu saja?”

Wamana kemudian mulai menarik. Tapi dirasanya keras. Wamana menariknya lebih kencang namun tak juga berhasil. Dengan mengerahkan tenaganya lebih keras lagi pancing itu ditariknya, tapi hasilnya tetap sama. Bhima mendekat dan bertanya lagi. “Kenapa? Ada masalah?”

Wamana terus menarik pancingnya. “Berisik! Lihat saja, tangkapanku niscaya jauh lebih besar dari semua yang sudah kamu dapat!” Wamana kemudian menyentakkan pancingnya. Kali ini ia berhasil. Tapi tiba-tiba Bhima menutup mulutnya sambil menahan tertawa.

“Pantas saja keras sekali! ternyata memang besar! Hahaha!”

Wamana kesal sekali alasannya ialah perilaku temannya itu, kemudian ia melihat ke mata pancingnya dan seketika ia terkejut. Seekor kepiting tampak menggantung di sana. Bukan ikan mirip apa yang dikiranya. “Hah?”

Dengan geram, Wamana mengangkat dan memutar-mutar pancingnya. Tak puas dengan itu, ia kemudian membanting pancingnya dan berjalan mendekat ke arah Bhima. Lalu tanpa basa-basi lagi ia segera mengangkat pancing Bhima untuk kemudian dihempas-hempaskannya ke air. Melihat ulah Wamana, Bhima hanya bisa berteriak-teriak melarang. “Hei! Hei! Jangan ganggu kailku!”

Pada ketika itu, Bhima mendengar air berkecipak. Dia mencan-cari bunyi itu, dan tak berapa jauh dari tepi pantai, terlihat sesuatu terombang-ambing mengapung di atas air. Dia menajamkan pandangannya, kemudian sesudah yakin jikalau yang terombang-ambing bukan hanya sekedar kayu atau onggokan benda tak berarti lainnya, ia menggapai ke arah Wamana. “Wamana! Berhenti! Lihat di sana!”

Wamana tidak perduli. “Masa bodoh! Tidak maul”

“Tampaknya ada orang hanyut! Aku mau menolongnya!” kata Bhima sambil berjalan ke arah pantai sementara Wamana melanjutkan marahnya. Bhima turun ke air dan menghampiri benda yang terapung itu. Begitu dekat, ternyata dugaannya tepat. Seseorang tampak tertelungkup di atas tameng kayu. “Benar! Orang hanyut! Masih hidup atau ….”

Bhima mengangkat kepala orang itu. Dia mencicipi jikalau orang tersebut masih menghembuskan nafas. “Dia masih hidup!”

Bhima mengangkat orang itu untuk segera memberi pertolongan, namun ia melihat tameng yang digunakan orang hanyut itu. Seketika ia terkejut. Bhima berubah pikiran, ia meletakan tubuh orang ke atas tameng. Lalu dengan tenaga yang luar biasa, ia mengangkat orang itu lagi berikut tamengnya dengan memakai sebelah tangan.

Wamana melihat temannya menghampiri namun ia tetap hirau tak hirau sambil duduk di pinggir pantai. Lalu didengarnya Bhima berkata. “Ini prajunt kerajaan Tarumanegara, Wamana! Kita harus membawanya ke istana!”

Wamana menutup wajahnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Bagus! Sempurnalah sudah kesialanku!”

Istana Kerajaan Tarumanegara

Sang Purnawarman tampak duduk di singgasananya dihadapi para pembesar kerajaan ketika mendapatkan informasi yang disampaikan oleh prajuntnya yang kini duduk di hadapannya didampingi Wamana dan Bhimaparakrama.

Wajah sang Purnawarman terlihat murung. “Betul-betul kejam dan biadab!” Berulang-ulang ia menarik napas galau sambil sekali-sekali mengguman. “Malang sekali nasib menteriku serta para pengawalnya!”

Seperti berkata pada diri sendiri, sang Purnawarman terus saja menggumam. “Padahal para perompak itu sudah diingatkan bahwa kapal itu ialah milik kerajaan. Tapi tetap tak diperdulikan dan mereka tetap merampoknya!”

Sang Purnawarman menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa ketika lamanya ia karam dalam diam. Namun mendadak sekali wajahnya terlihat mengeras ketika ia mengangkat kepalanya lagi sambil menepuk pangkal sandaran singgasana dengan agak keras.

“Baiklahl Aku harus melaksanakan tindakan tegas untuk persoalan ini!”

Semua yang hadir menundukan kepala ketika sang Purnawarman berdiri dari singgasana dan berdiri menyebar pandangan ke arah para bawahannya.

“Demi keamanan dan kelancaran perairan di wilayah kerajaan Tarumanegera ….”

Semua yang hadir kian dalam tertunduk ketika sang Purnawarman melanjutkan kalimatnya dengan bunyi yang lebih lantang. Tangan kiri memegang dada sementara yang kanan direntangkan lebar.

“Dengan ini, saya nyatakan perang terhadap bajak laut! Dan saya sendiri yang akan mernimpin penyerangan

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 3 Bagian Gelap Bulan Maga (Januaril Februari) tahun 321 Caka (403 Masehi), sang Purnawarman melancarkan perang terhadap bajak bahari yang merajalela di perairan barat dan utara.

Puluhan kapal perang kerajaan berbaris meninggalkan pelabuhan kerajaan Tarumanegara. Di potongan depan Kapal terbesar, dengan pakaian besinya, berdiri dengan gagahnya Sang Purnawarman didampingi sang Panglima Cakrawarman dan Sang Senopati Sarwajala, Nagawarman.

Beberapa hari kemudian, di tengah lautan.

Malam telah usang melewati puncaknya. Langit gelap tanpa bi ntang dan tanpa cahaya rembulan. Yang ada hanyalah kegelapan yang pekat dan mencekam. Namun di kejauhan, mirip hampir sejajar dengan garis cakrawala, tampak dua buah titik cahaya kecil yang terayun-ayun di tengah lautan. Kiranya cahaya itu berasal dari dua buah kapal yang agak besar yang tengah melempar sauh. Dilihat dari dekat, hanya satu dari dua kapal itu yang masih membuktikan adanya kegiatan. Dan dari kapal itu, sayup-sayup hingga terdengar bunyi orang berkata-kata dibawa angin yang berhembus timbul tenggelam.

“Kalah lagi! Sudahlah! Lebih baik saya tidur saja.”

Dari sekian banyak awak kapal, hanya tiga orang yang masih terbangun. Mereka berkumpul membentuk setengah bulat di antara puluhan orang lain yang berbaring di sana-sini. Di bawah penerangan sinar lampu damar yang samar, mereka menghadapi selembar kulit bergambar beberapa jenis binatang bahari yang dihamparkan di lantai kapal. Salah seorang dari mereka memegang sebuah cangkang kelapa yang dibuat sedemikian rupa ibarat mangkuk yang sudah dihaluskan. Perangkat mirip itu merupakan sebuah alat untuk permainan judi pada masa itu. Di dekatnya, di depan masing-masing orang, berceceran homogen mata uang logam yang digunakan untuk memasang taruhan.

Saat itu, lelaki yang memegang cangkang kelapa tampak berkata pada temannya. “Jangan murka begitu! Ayo pasang sekali lagi! Kali ini niscaya dapat! Udang? Kepiting? Keong?”

Yang diajak bicara malah melongok keluar jendela.

“Sejak sore tadi kamu bilang begitu! Dan ini sudah hampir pagi!”

“Siapa tahu jikalau kini ketika kemujuranmu tiba?” sahutnya lagi.

Tapi orang yang satu itu malah merebahkan diri sambil sebelumnya berkata dengan bunyi yang agak keras. `Maimah sendiri.”

Tiba-tiba, kawan-kawan mereka yang tengah tertidur mendadak terjaga dan muka kesal mereka semua serempak berteriak kepada mereka yang masih terjaga. “Berisik! Kalian mau kami rampok?”

Mereka yang bermain seketika merungkut. Tapi mendadak mereka dikagetkan oleh suara-suara desingan yang begitu ramai. Dan sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, dinding kapal daerah di mana mereka ketika itu berada, tiba-tiba ditembus oleh mata tombak-mata tombak yang menyembul masuk hingga ke potongan dalam. Para perompak itu kaget setengah mati. Salah seorang dari mereka bertindak cepat dan melompat ke arah jendela untuk melihat keluar dan mencari tahu apa yang tengah terjadi, mendadak, ia tersurut.

Beberapa puluh meter dari kedua kapal bajak laut, terlihat lampu-lampu yang berjejer membentuk bulat mengelilingi kedua kapal itu. Sekilas, memang terlihat indah. Tapi yang menciptakan salah seorang bajak bahari itu tersurut ialah bukan alasannya ialah keindahan itu, melainkan alasannya ialah sesudah ia mengawasi lebih terang dan menyadari bahwa lampu-lampu itu berasal dari kapal-kapal kerajaan. Dan kini kapal-kapal itu telah mengepung mereka dengan rapat. Dengan wajah pucat dan gemetaran, salah seorang bajak bahari Itu berkata lemas pada teman-temannya.

“Kita — telah-dikepung”‘

Sementara itu, di salah satu kapal terbesar dari armada kapal kerajaan yang ketika itu memang telah mengepung dua kapal bajak laut. Sang Purnawarman, Sang Senopati Sarwajala dan Sang Panglima Cakrawarman tengah menanyai salah seorang prajurit dari pasukan pengintai.

“Prajurit. betulkah ini kapal-kapal bajak bahari itu?”

Prajurit itu menjura.

“Betul. Sang Senopat’!”

Sang Purnawarman mengangguk-angguk.

“Kalau begiitu, beri isyarat untuk menyerang, Paman Senopati!”

“Baik. Sang Prabu!”

Senopatt Sarwajala memberi isyarat kepada peniup terompet untuk segera membunyikannya sebagai tanda untuk mengawali penyerangan. Peniup terompet menjura kemudian mulai meniup.

Nguuungggg!

Suara terompet menggema di tengah lautan, para pemimpin pasukan di tiap-tiap kapal segera memberi perintah kepada pasukannya.

“Tembak!”

Seketika, ratusan tombak dan panah dilepaskan. Kilauan mata tombak dan panah dalam kegelapan tampak begitu menggidikkan ketika meluncur cepat mencari sasaran. Suara-suara kayu hancur dan jeritan orang-orang yang terkena tombak dan panah itu tumpang tindih berbaur menjadi satu saling atas mengatasi menciptakan suasana yang tadinya sepi dan hening berkembang menjadi hiruk pikuk. Tak ada perlawanan yang berarti. Sebelum matahari muncul di ufuk timur, gerombolan bajak bahari itu sudah sanggup ditaklukan. Mereka yang mengalah dijadikan tawanan oleh pasukan kerajaan Tarumanegara.

Saat itu, Wamana bersama Bhima dan para prajurit lain tengah berada di kapal bekas milik para bajak bahari untuk mencari sisa-sisa gerombolan yang mungkin masih bersembunyi. Setelah usang mencari dan tak bertemu, mereka jadinya mengakhiri pencarian. Saat akan meninggalkan kapal bajak bahari itu untuk kembali ke kapal mereka masing-masing, tiba-tiba indera pendengaran Wamana menangkap sebuah bunyi yang mencurigakan.

Wamana menghentikan langkahnya. Suara itu terdengar begitu samar dan hanya terdengar sekali saja, tapi Wamana terasa begitu yakin jikalau itu bukamah bunyi ukiran kayu atau semacamnya. Wamana berniat hendak memanggil Bhima, tapi Bhima terlihat sudah berada agak jauh darinya. Dengan penasaran, Wamana masuk kembali ke potongan dalam kapal sambil mengendap-endap. Dalam keremangan cahaya lampu yang bersinar lemah, Wamana menajamkan pandangannya dan mencari. Namun walau bagaimanapun telitinya Wamana mencari, tetap saja ia tak menemukan apa yang dicarinya, jangankan manusia, kecoa pun tak tampak di sana. Dengan kecewa, Wamana melangkah keluar dari ruangan itu. Tapi mendadak, bunyi itu terdengar lagi. Tak terlalu keras memang, tapi itu sudah cukup memberi petunjuk kepada Wamana untuk mengetahui arah dari ruangan itu. Wamana merebahkan tubuhnya sejajar dengan lantai ruangan, dengan cermat ia mulai meraba. Dan wajah Wamana mendadak berubah cerah ketika tangannya mencicipi ada celah tipis pada lantai yang sepertinya rata itu. Suara engsel yang usang tak diberi pelumas segera terdengar ketika Wamana mengangkat dan mencongkel celah tipis yang berfungsi sebagai epilog itu dengan memakai ujung pedangnya. Cahaya lemah menembus ke dalam lubang yang menganga di bawahnya. Wamana terdiam sebentar. Dia berpikrr dan menimbang-nimbang.

“Apakah saya harus masuk ke sana.’ Tapi sendirian? Amankah? Atau…”

Terdengar bunyi desiran pelan dari balik kegelapan lubang yang menganga itu. Wamana membentak.

“Siapa itu?”

Tak ada jawaban. Wamana mengulang pertanyaannya.

“Siapa itu? Jawab atau kupanggilkan para prajurit lain!”

Mehdadak sekali, seraut wajah muncul di ambang lubang. Wamana terkejut dan jatuh terduduk, tapi ia segera menguasai dirinya.

“Siapa kau? Apakah kamu anggota gerombolan bajak bahari itu`’”

“Bukan! Aku ialah prajurit kerajaan!”

“Apa yang kamu lakukan di dalam sana? Aku tak percaya! Naiklah ke sini biar saya bisa melihatmu dengan jelas! Dan awas, jangan mencoba untuk berbuat macam-macam!”

“Aku sedang buang air kecil! Tunggulah sebentar, saya akan naik!”

Wamana mengerenyitkan kening. “Apa tidak salah?”

Orang itu naik. Wamana melihat orang tersebut memang berseragam prajurit kerajaan Tarumanegara. Namun tiba-tiba Wamana mundur sambil menutup hidung. Prajurit itu melihat reaksi Wamana tapi ia terus melangkah mendekati. Wamana terus mundur hingga jadinya punggungnya membentur dinding.

Wamana mengangkat tangannya. “Cukup! Jangan maju lagi! Kau bacin sekali!”

Prajurit itu tersenyum dan terus maju, tetapi begitu bersahabat dengan Wamana, ia tiba-tiba membelokkan arahnya ke pintu keluar. Wamana mengintip melalui sela jari-jarinya dan ia menarik napas lega. Tapi itu hanya sesaat, alasannya ialah selanjutnya ia melihat prajurit itu berjalan ke tepi kapal dan pribadi terjun ke dalam air. Wamana berteriak memanggil. “Hei, jangan!”

Terlambat. Karena beberapa detik kemudian dari bawah kapal terdengar bunyi sesuatu yang masuk ke dalam air. Wamana berlari mengejar dan memanggil-manggil dengan perasaan bersalah. “Prajurit! Jangan marah! Aku tak bermaksud menghinamu! Keluarlah dari dalam air dan naiklah! Aku tak tahu jikalau kamu begitu cepat putus asa!”

Saat itu, Bhima dan beberapa prajurit yang juga mendengar bunyi tadi sudah tiba di sisi Wamana. “Ada apa, Wamana? Suara apa tadi? Apa ada yang tercebur?”

Wamana mengangguk sedih. “lya. Seorang prajurit!”

Tanpa banyak berkata lagi, Bhima pribadi meloncat terjun ke dalam air. Beberapa ketika lamanya Bhima menyelam mencari-cari, tapi ia tak menemukan seorang pun di bawah sana. Karena penasaran, Bhima mencari hingga dasar samudera namun hasilnya tetap nihil. Akhirnya Bhima muncul kembali ke permukaan. “Tak ada seorang pun di bawah sana!”.

Wamana tersengguk dan mulai menangis. Beberapa prajurit yang ada di sampingnya berusaha membujuknya.

Sementara itu, Sang Purnawarman beserta para panglima tengah menanyai satu dari sekian bajak bahari yang berhasil ditawan. “Mana pimpinan kalian?”

Yang ditanya menggeleng. “Kami tak tahu.”

Panglima Cakrawarman mendekati bajak laut. “Kau tahu tengah berhadapan dengan siapa?”

Bajak bahari itu menjura dengan penuh ketakutan. “Tapi kami memang benar-benar tidak tahu!”

Sang Purnawarman berkata lagi. “Baiklah. Bila benar pemimpinmu itu tak ada di sini. Tapi, untuk memastikan apakah pemimpinmu itu masih hidup atau sudah mati, saya ingin kamu katakan bagaimana ciri-cirinya!”

Seketika dan tanpa berpikir panjang lagi, bajak bahari itu menjawab.

“Dia berbau bacin dan berpenyakit asma!”

Panglima Cakrawarman membentak.”Jangan main-main! Kau kira ia itu ikan? Yang kami maksud ciri-ciri itu ialah bagaimana sosok pemimpinmu sebenarnya!”

Dengan ketakutan, bajak bahari menjawab. “Susah untuk mengatakannya. Dia selalu berganti rupa sehingga sulit untuk menjelaskan ciri dari sosoknya!”

Sang Panglima membentak lagi. “Cukup! Kau telah mempermainkan Sang Prabu dan akan menerima eksekusi yang setimpal karenanya!”

Bajak bahari merungkut ketakutan. “Tapi memang itulah yang sebenarnya!”

Sang Panglima memberi isyarat biar bajak bahari itu segera dibawa pergi. Bajak bahari berusaha meyakinkan biar kata-katanya sanggup dipercaya, tapi dua prajurit segera menghampiri dan membawanya pergi. “Ampun, Sang Prabu! Kami tidak berbohong! Itulah yang sebenarnya! Ampuni kami!”

Selanjutnya dari 80 orang bajak laut, sebagian terbunuh dalam penyerangan oleh armada Kerajaan Tarumanegara sedangkan sisanya sebanyak 52 orang sanggup ditawan. Lalu, seorang demi seorang, bajak bahari yang ditawan itu dibunuh dengan aneka macam cara dan semua mayatnya dibuang ke tengah laut.

Matahari gres saja muncul. Sinar keemasan mewarnai angkasa. Suasana yang teduh dan sejuk mengiringi armada kapal kerajaan Tarumanegara yang telah tiba di Pantai Teluk Lada. Kapal-kapal ini melaju menyusuri fatwa sungai Cidangiang dan masuk ke pedalaman. Penduduk bersorak menyambut kedatangan pasukan kerajaan yang gres saja berhasil menumpas gerombolan perompak yang biasa menghantui dan berkeliaran mengganggu keamanan penduduk setempat.

Sang Purnawarman dan para panglimanya turun dan kapal dan disambut oleh tetua kampung setempat sedangkan para prajurit diizinkan turun ke darat untuk sekedar melepas lelah dan beristirahat sesudah sekian usang berada di lautan dan berperang semalaman. Bhima dan Wamana tampak bergabung dengan penduduk setempat. Mereka berbincang-bincang dan saling bertukar cerita. Saat itu, Wamana yang sedang tertawa-tawa, tiba-tiba terdiam. Matanya mendelik dan cuping hidungnya bergerak-gerak. Lalu ia berdiri dengan tiba-tiba sambil menoleh ke sana kemari. Bhima dan yang lainnya menjadi heran melihat perubahan perilaku Wamana itu. Wamana berjalan ke sana kemari sambil bertingkah mirip mencium-cium ke segala arah.

Beberapa orang yang melihatnya saling berpandangan dengan heran. Saat kembali ke daerah semula, Wamana mirip tampak tengah berpikir keras. Alisnya berkerut tajam sementara kepalanya digeleng-gelengkan sambil menggumam. “Aneh!”

Bhima tak sanggup menahan rasa ingin tahunya. “Ada apa denganmu, Wamana?”

Wamana masih saja bertingkah sama. “Aneh!”

“Apanya yang aneh, hei?” Tanya Bhima lagi sambil mencolek lengan Wamana.

“Aku mirip mencium bau yang sama.”

“Bau? Bau apa?”

“Bau prajurit yang tadi malam kulihat tercebur ke laut!”

Kali ini Bhima ikut mengerutkan kening. “Jangan bercanda, Wamana. Kau maksud prajurit yang tadi malam karam itu?”

Wamana mengangguk cepat. “Iya”

“Bukankah kamu lihat sendiri, saya tak sanggup menemukannya walaupun sudah kucari hingga ke dasar laut. Apa mungkin ia selamat? Mungkinkah ia sudah lebih dulu naik ke kapal tanpa kita mengetahuinya?”

“Mungkin. Tapi ketika kucari-cari saya tak melihat seorang pun yang bahkan mirip dengannya, apalagi dirinya.”

“Kau tidak melihatnya, tapi kamu sanggup mencium baunya. Apa kamu pikir yang tiba tadi itu ialah hantunya” Mana mungkin, ini sudah siang, banyak orang lagi!”

“Lalu, bau apa atau siapa yang tadi kucium? Sayang, bau itu sudah keburu hilang sebelum saya sempat berbuat lebih banyak!”

“Bau ini, Wamana. Bau mirip apakah yang kamu cium?”

“Amis”

Bhima mulai tcrsenyum. “Amis? Maksudmu mirip bau ikan” Bukankah itu masuk akal mengingat daerah ini ialah tepian pantai dan juga perkampungan nelayan?”

Wamana dengan mimik serius tetap mempertahankan keyakinannya.

“Bukan, Bhima. Aku kenal betul bau ini!”

Saat itu, Sang Senopati Sarwajala berdiri di tengah-tengah kampung dan memanggil para prajurit untuk berkumpul alasannya ialah ada pengumuman yang hendak disampaikannya. Setelah itu, ia pun mulai angkat bicara.

“Segenap penduduk dan prajurit Tarumanegara. Ada hal penting yang akan kami sampaikan atas perintah Sang Prabu Purnawarman. Dari hasil pembicaraan antara Sang Prabu dan Tetua Kampung ini, maka terciptalah suatu rencana untuk mengabadikan insiden keberhasilan membasmi gerombolan perompak yang selama ini telah mengusik keamanan di perairan ini dan juga sebagai ungkapan terima kasih dari Sang Prabu atas kesediaan masyarakat di sekitar sungai Cidangiang untuk bersama-sama saling membantu menjaga ketentraman di perairan ini demi kepentingan bersama-sama Juga. Sudah sepantasnya kerajaan dan masyarakatnya saling pundak membahu demi kemajuan negara. Dan akhirnya, semua keberhasilan ini tidak akan terjadi tanpa dukungan dan sumbangan serta kerjasama antara kerajaan dengan masyarakat”.

Kalimat sang Senopati itu disambut dengan tempik sorak dari segenap prajurit dan penduduk. Kemudian, diperintahkan para prajurit serta penduduk setempat untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Sementara para lelakinya bekerja, para perempuan memasak kuliner untuk dihidangkan nanti. Suasana di kampung itu menjadi begitu ramai. Puluhan kerbau dikumpulkan di tengah tanah lapang untuk disembelih dan sebagian lagi untuk dihadiahkan kepada penduduk.

Saat tiba waktu makan siang, para lelaki yang bekerja beristirahat dan mencari daerah yang teduh untuk bernaung dan melepas lelah. Anak-anak penduduk berlarian rnembawakan air minum di dalam kendi-kendi tanah dan potongan-potongan barnbu. Tak usang kemudian. para perempuan tiba membawakan santapan untuk makan siang. Para pekerja pribadi menyambut dan mulimkan dengan lahap.

Di pondok kediaman sang Tetua kmpung dimana para panglima dan sang Purnawarman berada, hidangan telah pula diantarkan oleh para wanita. Di bersahabat anak tangga pondok sang Tetua kampung, tampak Bhim dan Wamana berbaur dengan para pekerja lainnya dan tengah menyantap hidangan. Wamana tampak makan dengan lahap hingga remah-remah kuliner bertempelan di sekitar lisan dan pipinya. Dari barisan para perempuan yang membawakan hidangan ke pondok Tetua kampung, tampak seorang gadis muda bagus di antrian paling belakang. Dengan lenggang lenggoknya yang gemulai, ia melemparkan senyum manisnya kepada para pekerja sambil mengapit dua buah kendi air di tangan kanan-kirinya. Tiba di tangga pondok, gadis itu melirik sekilas pada Wamana yang masih sibuk dengan makanannya. Tapi beberapa ketika sesudah gadis itu melewati tangga, Wamana tiba-tiba terhenyak. Dia menghentikan suapan ke lisan dan berhenti mengunyah. Kepalanya terangkat dan matanya terbuka lebar. Beberapa helaan napas Wamana terpaku, cuping hidungnya bergerak kembang-kempis. Bhima yang melihat perilaku Wamana itu bertanya.

“Ada apa Wamana? Kau tersedak? Makanya, jikalau makan jangan terlalu lahap!” Wamana mirip tak mendengar pertanyaan Bhima. Dia malah memegang lengan Bhima dengan kencang.

“Bhima, kamu cium bau itu?”

“Bau apa?” tanya Bhima sambil menajamkan penciumannya. “,Aku tak mencium bau apa-apa selain bau daging yang kita makan, dan bau keringatmu!”

Wamana tiba-tiba meletakkan makanannya dan berdiri berdiri sambil bercelingukan ia bertanya kepada Bhima dengan terburu-buru.

“Siapa orang yang terakhir lewat bersahabat kita?”

Bhima mengangkat pundak sambil menoleh ke sekeliling. “Kau lihat sendiri, mereka semua sedang makan. Sama mirip kita. Kecuali…”

“Kecuali siapa?” desak Wamana dengan bernafsu.

“Para perempuan yang mengantarkan hidangan ke dalam Pondok ini. T api kenapa?”

Tanpa rnenghiraukan pertanyaan Bhima lagi, Wamana segera bergerak cept ke dalam pondok. Dia melompati anak tangga dengan langkah-langkah lebar.

‘Mau apa” ia masuk ke dalam? Bisa-bisa ia akan mengganggu selera makan orang-orang yang ada dI sana!”

Berpikir demikian, Bhima segera berdiri menyusul Wamana.

Di dalam pondok, para perempuan yang membawakan kuliner telah mulai keluar satu per satu. Mereka berpapasan dengan Wamana. Dan mereka kaget alasannya ialah Wamana memandang mereka dengan tajam sambil mendekatkan wajahnya ke tubuh para perempuan itu. Para perempuan memandang heran sambil melanjutkan keluar dari dalam pondok. Wamana masuk ke potongan dalam ruangan di mana Tetua kampung, Sang Purnawarman dan para Panglima tengah berkumpul dan berkemas-kemas untuk menyantap kuliner yang telah dihidangkan. Di sana ia melihat hanya tinggal satu orang perempuan yang tengah menaruh kendi air di atas lantai. Semua yang ada di dalam, kecuali si wanita, melihat kedatangan Wamana. Tapi Wamana malah menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Dengan berjingkat ia berjalan mendekati si perempuan dari belakang. Sang Purnawarman serta para Panglima yang telah mengenal Warnana dan sudah tahu bagaimana sifatnya, hanya terdiam sambil tersenyum melihat tingkah Wamana itu.

Tepat pada ketika si perempuan selesai meletakkan kendi dan berdiri berdiri, Warnana melompat dan menerkam tubuh si wanita. Tubuh perempuan itu terdorong dan terjerembab ke depan alasannya ialah tertindih oleh tubuh Wamana. Dengan bemafsu Wamana berseru sambil menekan kepala si perempuan ke lantai. “Kena kamu sekarang!”

Lalu kaki Wamana bergerak menendang dua kendi air yang tadi dibawa si gadis dengan keras sehingga terpental dan pecah. “Air itu telah dicampur racun!”

Tetua kampung hanya terbengong melihat insiden itu. Sang Panglima Cakrawarman menegur Wamana. “Wamana, apa yang kamu lakukan? Apa kamu tak memandang Sang Prabu dengan berbuat keributan mirip ini? Kali ini, leluconmu tidaklah lucu!”

Dengan masih sambil menekan kepala si gadis, Wamana menjawab ucapan Sang Panglima.

“Memang tidak lucu, alasannya ialah hamba memang tak bermaksud bercanda. Tapi apakah Yang Mulia semua tidak merasa terganggu dengan bau bacin ini?”

Seketika yang ada di dalam ruangan mengendus-ngendus.

“Bau amis? Aku memang gres membauinya. Tapi kukira itu hanyalah aroma dari kuliner ini saja. Lalu kenapa?” tanya Sang Purnawarman.

Wamana tidak segera menjawab. Tapi ia malah memukul punggung gadis itu dengan keras hingga si gadis terbatuk-batuk dengan payah dan nafas tersengal-sengal.

“Bagaimana pula dengan ini?” tanya Wamana lagi.

Semuanya saling berpandangan tak mengerti akan apa yang dimaksud Wamana.

“Mengapa kamu memukulnya sekeras itu? Apa salahnya sehingga kamu begitu kasar pada seorang wanita?”

Pada ketika itu Bhima pun masuk ke dalam ruangan. Dia menjura ketika Sang Purnawarman dan para Panglima menoleh ke arahnya.

“Ampun, Sang Prabu. Maafkan perilaku hamba dan mitra hamba ini bila telah berbuat lancang di hadapan Sang Prabu!”

Sang Purnawarman mengangguk. “Aku tak mengerti. Apa yang terjadi dengan Wamana, Bhima. Dia mirip kehilangan kendali.”

“Ampun, Sang Prabu. Hamba pun tidak tahu. Tapi izinkamah hamba mengurusnya.”

Sang Purnawarman mengangkat tangan mempersilahkan. Bhima kemudian menghampiri Wamana. Tapi gres beberapa langkah, Wamana berseru kepada Bhima.

“Diam di tempatmu, Bhima!”

Langkah Bhima seketika terhenti. “Tapi kamu telah lancang di hadapan sang Prabu, Wamana. Ayolah, mari kita keluar saja dan lepaskan gadis yang tidak bersalah itu!”

“Bhima, kamu ingat insiden di kapal tadi malam ketika kamu menyelami bahari untuk mencari seorang prajurit yang tenggelam?” Bhima mengangguk. “Kau masih ingat tadi pagi dan barusan ketika kukatakan jikalau saya mencium bau amis?” Bhima mengangguk lagi.

“Bagus,” kata Wamana. “Sekarang, mendekatlah kemari!”

Bhima berdasarkan saja. Dia melangkah perlahan menghampiri Wamana. Tapi beberapa jengkal dari Wamana, Bhima menghentikan langkahnya sambil menahan nafas. Wamana tersenyum karenanya.

“Nah, bau apa yang barusan kamu cium?”

Bhima mengerutkan kening. “Amis!”

“Tepat!” kata Wamana. Lalu katanya lagi kepada Sang Prabu. “Hamba dan Bhima memang tidak hadir ketika Sang Prabu menanyai salah seorang bajak bahari tadi malam. Tapi dari dongeng yang hamba dengar dari salah seorang prajurit yang hadir pada ketika itu, bukankah si bajak bahari menyampaikan ciri-ciri dari pemimpin mereka” Ciri-ciri yang benar-benar tepat, walaupun tidak dipercayai dan dianggap mengada-ada!”

Saat Itu, Sang Purnawarman serta para Panglima tersentak. Mereka semua memandang pada gadis yang ada di bawah tubuh Wamana. “Aku ingat itu. Tapi apakah mungkin gadis mirip ia sanggup memimpin gerombolan perampok yang kejam itu”?

Wamana menggeleng cepat. “Ciri-ciri itu juga dikatakan oleh bajak bahari itu. Bukankah katanya pemimpinnya itu pun seringkali berganti-ganti rupa?”

Sang Prabu mengangguk- angguk mengerti.

“Kalau begitu, mari kita aturan dia! Tak peduli bagaimana pun wujud ia yang sebenarnya!” kata Sang Panglima.

Tapi tiba-tiba, Wamana mencicipi tubuhnya terangkat dan kulit perempuan yang tadinya mulus kini berubah kasar dalam genggamannya. Seketika Wamana menoleh ke bawah. Dan ia terkejut ketika melihat bagaimana tubuh perempuan yang tadi ditindihnya telah hilang dan kini berkembang menjadi sosok yang besar, jauh lebih besar bahkan dari tubuhnya sendiri. Belum sempat Wamana berbuat sesuatu, sosok itu tiba-tiba meronta dengan keras. Wamana yang bertubuh kecil tak sanggup bertahan. Pegangannya terlepas dan tubuhnya terlempar ke belakang. Sang Prabu dan para Panglima yang juga melihat perubahan-perubahan itu segera berdiri dari duduknya alasannya ialah terkejut, begitu juga dengan Bhima. Sosok tinggi besar itu kini berdiri sambil menggeram marah. Kini terlihatlah sosok pemimpin bajak bahari itu yang sebenamya. Dia memandang murka pada orang-orang di sekelilingnya. Melihat itu, dengan ketakutan Wamana melompat mundur ke arah pintu keluar dan berlindung di balik tubuh Bhima. “Bhima! Tolong aku!”

Para Panglima segera bergerak mengelilingi Sang Prabu untuk menjaga segala kemungkinan jelek yang sanggup mengancam keselamatan Sang Prabu.

“Kau tidak akan bisa keluar dari sini, Perompak! Menyerahlah!” Sang Senopati membentak.

“Dan menciptakan kalian bahagia dengan merighukumku?” tanya si pemimpin. “Tidak!” jawabnya lagi sambil menggeleng-geleng. “Tapi kalian semua telah mengganggu kesenanganku. padahal kalian tahu jikalau saya ini ialah perompak yang bekerja untuk mengganggu kesenangan orang! Aku ingatkan kalian jikalau kalian belum sadar, itu terbalik, tahu?”

“Kau tahu apa kesalahan terbesarmu?” tanya Sang Purnawarman.

“Apa ya ?” Si perompak menggelengkan kepala.

“Kau telah merampok dan membunuh salah seorang menteri dari kerajaan Tarumanegara! Itu ialah kesalahan tak terampuni!” kata sang Purnawarman lagi sambil menuding ke arah perompak.

“Aku tak butuh ampunan dari siapapun! Dan bila saya ingin merampok, jangankan seorang menteri, seorang raja sekalipun akan tetap kurampok bila saya memang menginginkan!” Kalimat terakhir diucapkan perompak dengan sangat bersemangat. Karenanya, tiba-tiba memegang dadanya sambil berusaha menarik napas dengan payah. Melihat hal itu, Sang Senopati mengira jikalau perompak itu lengah. Maka dengan segera ia melompat menyerang si perompak. Tapi dugaan sang Senopati salah, alasannya ialah si perompak justru sanggup dengan gampang menghindari serangan itu dan bahkan membalasnya. Terjadi pertempuran sengit di dalam pondok tetua kampung. Para penduduk dan prajurit telah mendengar keributan di dalam pondok dan mereka semua tiba berkerumun di sekeliling daerah itu. Beberapa ketika kemudian, rupanya perompak itu lebih tangguh dibanding sang Senopati. Pertempuran sengit kembali terjadi. Namun kembali terbukti bahwa si perompak memang benar-benar tangguh. Sang Panglima pun kembali terdesak hebat hingga jadinya ia mundur menjauhi si perompak. Demi melihat kedua panglimanya tak berdaya menghadapi perompak itu, Sang Purnawarman sendiri jadinya turun tangan. Tapi para panglimanya mengllalangi.

“Jangan, Sang Prabu! Lebih baik kita menyingkir dari sini! Dia terlalu tangguh buat kami! Kami tak ingin keselamatan Sang Prabu terancam!”

Perompak tertawa terkekeh-kekeh melihat hal tersebut. Kesombongannya pun timbul.

“Tak usah berebut, Kalau mau, kalian semua boleh majumenyerangku! Aku senang-senang saja”

Sungguh sangat meremehkan kalimat si perompak itu. Sang Purnawarman merasa dihina dan ditantang. Lalu ia menepis tangan para panglima yang melindunginya. Tapi kemudian terdengar bunyi seseorang berkata:

“Izinkan hamba menghadapinya. Sang Prabu tak perlu turun tangan!”

Sang Purnawarman menoleh danmelihat Bhima tengah menjura kepadanya. Seperti orang gres sadar dri suatu lamunan, Sang Purnawarman tersentak kemudian tersenyum gembira.

“Ah. Bhima. Aku begitu tergoda oleh kesombongan perompak ini sampai-sampai tak menyadari keberadaanmu di sini!”

“Dia memang sakti, Sang Prabu. Tapi kesombongannya justru mirip melebihi kemampuannya itu sendiri. Dengan izin dan restu dari Sang Prabu serta para Panglima semua, hamba akan mencoba melawannya!”

“Dengan bahagia hati, Bhima. Mungkin hanya kaulah yang bisa menghadapinya. Semoga berhasil!”

Bhima kemudian melangkah hening mendekati si perompak yang masih dengan sambil tertawa-tawa mencibirkan mulutnya ke arah Bhima.

“Heli, rupanya Tarumanegara sudah kehabisan Panglima andalannva sehingga harus menyerahkan tanggung jawab kepada bocah bongsor ini!”

Bhima terus mendekat.

“Bocah, jangan alasannya ialah kamu merasa tubuhmu tinggi besar kemudian kamu mengira akan sanggup mengalahkanku! Lebih baik kamu mundur dan biarkan saya menghabisi rajamu, maka kamu akan kubiarkan hidup!”

Bhima tak menjawab ejekan si perompak. Dia terus saja melangkah menghampiri si perompak yang menjadi heran alasannya ialah perilaku Bhima itu. Tepat pada ketika Bhima tinggal beberapa depa lagi darinya, si perompak dengan kesal menyerang Bhima. Pukulan si perompak tepat menghantam dada Bhima. Bhima tak bergeming kemudian dengan secepat kilat Bhima mengulurkan tangan ke arah si perompak. Tahu-tahu, leher si perompak telah dicekik oleh tangan Bhima yang kokoh. Si perompak meronta-ronta sambil memukul dan menendangi tubuh Bhima, Bhima malah mengangkat tangannya ke atas sehingga tubuh si perompak ikut terangkat pula ke atas. Si perompak mulai tercekik pernapasannya, matanya melotot sementara tangan dan kakinya terus saja memukuli dan menendangi Bhima. Dari mulutnya ia mengeluarkan bunyi serak tak terang apa yang dikatakannya. Wajah si perompak kian memerah. Perlahan-lahan gerakannya yang meronta-ronta mulai mengendur. Saat itu Bhima menurunkan tubuh si perompak dan melepaskan cekikannya. Tubuh si perompak meluruk ke lantai dengan lemah, ia memegangi lehemya dengan wajah kesakitan sambil terbatuk-batuk. Pada ketika itu, Sang Panglima melambai pada beberapa orang prajurit yang tengah menyaksikan insiden itu.

“Ringkus dial”

Para prajurit segera melaksanakan perintah itu. Mereka menghampiri si perompak dan mengamankannya, kali ini ia tak lagi melawan. Begitu juga ketika para prajurit membawanya pergi dari pondok itu. Dia hanya bisa memandang heran dan tak mengerti pada Bhima. Untuk kesekian kalinya, Sang Purnawarman dan Para Panglima menghaturkan terimakasih kepada Bhima dan Wamana atas jasa mereka yang telah menghindarkan Sang Purnawarman beserta para Panglimanya dari ancaman yang mengancam mereka.

Tak usang kemudian, Sang Purnawarman memerintahkan biar perompak itu dibawa ke tengah bahari untuk mendapatkan eksekusi mirip yang diterima oleh para anak buahnya sebelumnya. Kini sempurnalah sudah penumpasan mereka terhadap para bajak bahari yang selama ini menjadi momok yang menakutkan bagi para pelaut.

Sementara itu, program pengabadian keberhasilan penumpasan gerombolan bajak bahari segera dimulai. Bentuk pengabadian itu diwujudkan dalam sebuah prasasti yang terletak di tepi sungai Cidangiang, Sang Purnawarman rnenuliskannya dalam abjad Pallawa bahasa Sansekerta yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Vikrantayam vanipateh
Prabbhuh satyaparakramah
Narendraddhvajabutena crimatah
Purnnavarmmanah

((Ini tanda) penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, yang termasyur Purnawarman)

Prasasti itu berada di tepi sungai Cidangiang, di desa Lebak Kecamatan Munjul Kabupaten Pandeglang sekarang.

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel