Lubuk Bujang Gadis
Dahulu kala hiduplah seorang bujang yang digelari oleh masyarakat dengan Bujang Tuo. Gelar itu dilekatkan kepadanya alasannya ialah usianya yang sudah tidak muda lagi, namun ia tak kunjung menikah. bujang Tuo cukup gagah, apalagi ia mempunyai badan yang kekar. Bujang Tuo tinggal di desa Senamat Ulu. Desa itu terletak di hulu batang Senamat. Penduduk desa Senamat Ulu tidak terlalu banyak. Mereka hidup dengan mencari ikan di Batang Senamat dan sebagian ada yang bercocok tanam.
Orang bau tanah Bujang Tuo sesungguhnya sudah usang menyinggung soal ijab kabul kepadanya, namun ia tidak begitu menanggapinya. Bagi Bujang Tuo jodoh ada di tangan Sang Pencipta. Bujang Tuo ialah anak yang suka bekerja. Hal ini yang membuatnya tidak begitu terbebani dengan impian untuk menikah.
Untuk kesekian kalinya bertanyalah ibu Bujang Tuo kepadanya, "Kapan lagi kamu nak menikah, Bujang, sudah rindu rasanya kami nak menimang cucu."
"Sudahlah, Mak, biar Tuhan yang berkehendak. Aku pun hendak, namun tak mungkin bila tiada rasa," jawab Bujang Tuo.
"Tapi, bagaimana dengan orang kampung. Rasanya sakit indera pendengaran Mak mendengar gunjingan mereka."
"Sabarlah, Mak. Aku pun begitu."
Bujang Tuo pamit kepada orang tuanya untuk berjalan-jalan menenangkan pikiran. Iba hati orang tuanya melihat nasib anak satu-satunya itu. Mereka tahu bahwa Bujang Tuo lebih tertekan dengan sindiran penduduk kampung, namun mereka tak sanggup berbuat banyak. Mereka hanya sanggup berdoa semoga Bujang Tuo segera mendapatkan jodoh dan menikah.
Bujang Tuo pergi ke Batang Senamat. Dilepasnya pautan rakitnya dan ia mulai menyusuri Batang Senamat. Gundah juga hatinya memikirkan problem itu. Sebetulnya ia juga ingin untuk menikah, namun ia tidak mau menikah dengan gadis yang tidak disukainya. Selama ini Batang Senamat merupakan kawasan pelarian keluh kesahnya. Hamparan hutan dan bukit di kiri kanan Batang Senamat seolah memperlihatkan ketenangan kepadanya. Ia sering berlayar jauh untuk mengobati luka hatinya. Saat ini kata hatinya ingin pergi ke desa Senamat yang terletak di hilir Batang Senamat.
Dalam perjalanannya, Bujang Tuo sering bersenandung untuk menghibur diri. Ia begitu mengagumi kebesaran Tuhan yang telah membuat alam yang begitu indah, namun ia juga sering berkeluh kesah kepada Tuhan mengapa belum juga ada jodoh untuk dirinya.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba ia mendengar bunyi wanita menyanyi. Suara itu berasal dari bukit di sisi Batang Senamat. Namun bunyi itu tidak terdengar lagi ketika ia ingin menghentikan rakitnya. Ingin rasanya Bujang Tuo pergi ke sana, namun ia juga takut kalau itu hanya igauannya. Lama ia menunggu bunyi itu, namun tidak terdengar juga. Akhirnya Bujang Tuo melanjutkan perjalanannya. Namun ia masih memikirkan kejadian tadi. Ia masih ingin tau dengan bunyi itu.
Keesokan harinya ia kembali melewati kawasan itu. Sesampai di sana ia kembali mendengar bunyi wanita menyanyi, namun lebih menyerupai bunyi tangisan. Ketika Bujang Tuo akan menghentikan rakitnya bunyi itu kembali hilang. Bujang Tuo semakin penasaran. Namun ia masih belum berani untuk menaiki bukit kawasan bunyi itu berasal. Ia takut kalau bunyi itu ialah miliki penunggu bukit itu. Bulu kuduknya bangun dan ia kembali melanjutkan perjalanannya. Sesampai di rumah Bujang Tuo tak bisa tidur. Ia masih ingin tau dengan kejadian di Batang Senamat itu. Ingin rasanya ia pergi ke bukit itu, namun ia takut kalau itu bukan bunyi insan melainkan penghuni bukit itu. Tetapi selama perjalanannya ke desa Senamat, gres hari itu ia mendengar bunyi wanita menyanyi. Bujang Tuo semakin penasaran. Setelah usang merenung, kesudahannya ia berjanji bila besok masih mendengar bunyi itu, maka ia akan menaiki bukit itu.
Keesokan harinya ia kembali melewati bukit itu dan ia kembali mendengar bunyi wanita menyanyi. Dengan cepat Bujang Tuo menepikan rakitnya dan menaiki bukit mencari sumber bunyi itu. Suara itu semakin terperinci didengarnya. Perlahan Bujang Tuo mengintip dari balik daun-daun siapa gerangan yang sedang menyanyi itu. Ia melihat seorang wanita sedang menangis tersedu-sedu duduk di atas batu. Ia yakin itu ialah insan alasannya ialah tak jauh dari sana ada kebun dan sebuah rumah.
Bujang Tuo mendekati wanita itu dan mereka pun berkenalan. Akhirnya diketahuilah bahwa wanita itu berjulukan Gadis. Ia tinggal dengan kedua orang tuanya. Hanya mereka yang tinggal di atas bukit itu. Usia Gadis sudah tidak muda lagi. Namun selama ini ia belum mau menikah alasannya ialah masih asik dengan pekerjaan dan kebebasannya. Meskipun orang tuanya sudah berulang kali menanyakan perihal itu kepadanya. Sekarang sehabis tidak muda lagi gres muncul keinginannya untuk menikah. itulah yang membuatnya bersedih sehingga sering menangis. Bujang Tuo merasa bahwa jalan hidup Gadis menyerupai dengan dirinya.
Semenjak ketika itu, Bujang Tuo sering berkunjung ke sana. Ia merasa tertarik dengan Gadis, namun ia belum berani untuk mengungkapkannya. Ia masih ingin melihat-lihat terlebih dahulu. Bujang Tuo juga tidak menceritakan kejadian itu kepada orang lain termasuk orang tuanya. Ia tak ingin mereka tahu sebelum ia menerima kepastian akan korelasi mereka. Hingga pada suatu ketika Bujang Tuo pun mengutarakan perasaannya kepada Gadis. Akan tetapi, Gadis masih ragu dengan keseriusan Bujang Tuo. Ia takut kalau-kalau Bujang Tuo hanya bermain-main apalagi ia belum begitu mengenal asal-usul Bujang Tuo. Akhirnya Bujang Tuo memperlihatkan kesempatan kepada Gadis untuk memikirkannya beberapa waktu.
Sampailah pada masa yang telah disepakati untuk bertemu. Mereka duduk di tepi lubuk. Bujang Tuo ingin sekali mendengar tanggapan Gadis. Di dalam hati ia berdoa semoga Gadis berjodoh dengannya.
"Sampaikanlah buah renungmu, Gadis. Ingin saya segera mendengarnya."
"Abang, bimbang saya memutuskannya. Masih ada ragu di hati perihal keseriusan Abang. Namun, kalau benar kakak bersungguh-sungguh, kelak datanglah sebulan lagi untuk melamarku. Itulah bukti keseriusan abang."
Tanpa pikir panjang Bujang Tuo eksklusif menyanggupi ajakan Gadis. Ia senang dengan tanggapan yang diberikan Gadis.
"Baiklah, kalau itu pintamu saya menyanggupinya," jawab Bujang Tuo.
"Tapi, saya ingin kakak berikrar setia dalam sumpah bahwa kakak bersungguh-sungguh. Selama ini gres kakak lelaki yang bisa menggerakkan hatiku. Aku tidak ingin semua ini hanya angan belaka. Niat baik sering banyak cobaannya, Bang."
Bujang Tuo melongo sesaat. Ia mencoba memahami ajakan Gadis. Namun Bujang Tuo resah menyerupai apa sumpah yang sanggup memperlihatkan keyakinan pada Gadis. Setelah melongo beberapa ketika kesudahannya Bujang Tuo bicara juga.
"Baiklah. Untuk kesungguhan kita saya bersumpah akan menjadi buaya di lubuk ini seandainya kita tidak jadi menikah." gadis pun mendapatkan sumpah yang diikrarkan BujangTuo. Ia menentukan menjadi buaya di lubuk itu daripada harus menanggung aib alasannya ialah batal menikah.
Hari berganti. Sebulan telah berlalu sejak Bujang Tuo mengikrarkan sumpah. Pagi itu Gadis telah berada di tepi lubuk kawasan dulu mereka berjanji. Gadis ingin lekas bertemu dengan Bujang Tuo yang akan tiba melamarnya sesuai janjinya. Lama ia duduk, namun belum tampak juga olehnya Bujang Tuo. Sampai selepas tengah hari Bujang Tuo masih juga belum datang. Gadis mulai resah kalau-kalau Bujang Tuo tidak akan datang. Jika itu terjadi ia tak sanggup menanggung aib kepada orang tuanya.
Hari sudah mulai sore, namun Bujang Tuo belum juga menampakkan diri. Gadis menangis. Hancur hatinya Bujang Tuo belum juga datang. Dalam kesedihan dan keputusasaan itu keluarlah keluhannya.
"Mengapa ketika ada keinginanku untuk menikah sehabis ada orang yang menggerakkan hatiku, semua menjadi begini? Tak sanggup saya menanggung malu. Jika memang ini nasibku, saya terima kutukan itu."
Setelah meratap menyerupai itu tiba-tiba terjadi perubahan pada Gadis. Secara perlahan mulai dari kakinya mundul sisik-sisik buaya. Lalu bentuk tubuhnya pun mulai berkembang menjadi bentuk buaya. Namun semua berwarna putih. Pada ketika kepalanya akan berkembang menjadi kepala buaya, Bujang Tuo datang. Bujang Tuo sempat melihat kepala Gadis yang belum berkembang menjadi buaya, namun terlambat. Ketika ia tiba seluruh badan gadis telah berkembang menjadi buaya. Bujang tuo meratapi keterlambatannya. Ia menangis tersedu-sedu. Dalam kesedihan itu ia pun berkata, "Mengapa ini yang terjadi. Setelah tiba keinginanku untuk menikah, tapi tidak juga terkabul. Buruk sekali nasibku. Jika ini suratanku, saya teruma kutukan itu!" Akhirnya Bujang Tuo pun berkembang menjadi seekor buaya putih.
Mereka sama-sama telah berkembang menjadi buaya putih di sebuah lubuk di Batang Senamat. Kepala mereka akan terlihat apabila air di lubuk itu surut.
sumber :
http://yayasanlangit.blogspot.com
http://sayaindonesia.com/viewtopic.php?f=765&t=896&sid=681e6b8eca389fbb453b1796ac17f6bc