Ncuhi Mawo
Ada sebuah ncuhi berjulukan Ncuhi Mawo, letaknya berdekatan dengan Ncuhi Jia. Ncuhi yaitu nama kawasan pemerintahan yang amat luas dan kepala pemerintahannya dipanggil berdasarkan nama kawasan yang diperintahnya. Kedua kawasan ncuhi tersebut masuk kawasan kekuasaan Sangaji Mbojo di Bima, Pulau Sumbawa.
Ncuhi Mawo amat disegani dan ditakuti oleh ncuhi-ncuhi lain. Ia seorang ncuhi yang populer peberani, kebal, lagi sakti. Itulah sebabnya ia menjadi arogan dan sombong serta suka merendahkan orang lain.
Menurut adat, setiap tahun semua ncuhi yang ada di bawah kekuasaan pemerintahan Baginda berkewajiban ke istana dan menyerahkan upeti kepada Sangaji. Akan tetapi dalam tahun ini Ncuhi Mawo tidak mau menghadap. Bahkan ia menghasut rekannya ncuhi-ncuhi yang lain supaya tidak menghadap ke istana. Ia pernah berkata, “Martabatku sama saja dengan martabat Sangaji.” Ncuhi-ncuhi yang lain hanya membisu saja dikala mendengarnya. Namun tak ada seorang pun yang terpengaruh.
Tentang pembangkangan Ncuhi Mawo, Baginda Sangaji telah mengetahuinya. Maka dipanggilnya semua ncuhi bawahannya untuk mengadakan sidang khusus.
“Sampai selesai tahun ini Ncuhi Mawo tidak tiba memenuhi kewajibannya. Barangkali Anda ada yang mengetahui keadaaan Ncuhi Mawo yang sebenarnya? Harap Anda semua memberi kesaksian,”demikianlah Baginda Sangaji memulai sidang.
“Tuanku Baginda yang mulia, berdasarkan pernyataannya sendiri yang kami dengar, ia memang sengaja tidak tiba menghadap. Bahkan ia pernah menyampaikan kedudukannya sama dengan Baginda. Kami yakin ia tidak mengalami kesulitan. Ia bahkan pernah menghasut semoga kami mengikuti jejaknya” Demikian kesaksian Ncuhi yang pernah diajak bicara Ncuhi Mawo.
Baginda tak menyangka sejauh itu perbuatan Ncuhi Mawo. Beliau berterimakasih kepada ncuhi-ncuhi yang lain atas kesaksiannya. Kemudian Baginda memutuskan bahwa jikalau Ncuhi Mawo tidak mau mengubah sikapnya, ia harus dijatuhi hukuman.
Sangaji kemudian mengirim beberapa orang utusan untuk memberikan keputusan tersebut kepada Ncuhi Mawo, namun ia tetap menentang. Akhirnya Baginda memutuskan Ncuhi Mawo dijatuhi eksekusi mati. Untuk melakukan eksekusi bagi Ncuhi Mawo, ditugaskan Ncuhi Jia, adik kandung Ncuhi Mawo. Tugas yang amat berat, namun Ncuhi Jia bersedia menerimanya.
Ncuhi Jia kemudian memeras otak mencari cara semoga pelaksanaan eksekusi itu tidak tampak keji dan mengerikan. Ia mendapat wangsit kemudian menghadap Baginda Sangaji belakang layar memohon semoga ia diberi dua pekerja istana yang terpercaya untuk membantunya. Tentu Baginda menyanggupi.
Dalam melakukan tugasnya, Ncuhi Jia bersiasat pertama-tama ia akan menyerahkan dua orang pekerja istana tersebut menyamar sebagai hamba Ncuhi Mawo semoga sanggup menjadi mata-mata. Tugasnya yaitu mencari tahu di kepingan badan mana letak rahasia kesaktian dan kekebalannya, juga apa sebab-sebabnya.
Kemudian Ncuhi Jia membawa mereka pada Ncuhi Mawo. Dijelaskannya bahwa 2 hamba ini jujur, rajin, dan setia, hadiah dari Baginda bahwa murkanya telah tiada. Permasalahan dijelaskan begitu halus dan piawai. Sehingga Ncuhi Mawo sangat bangga dan tidak curiga.
Setelah sekian usang kedua orang itu menjadi hamba yang baik di rumah Ncuhi Mawo, mereka sekarang tak diragukan lagi kesetiaannya. Pada suatu ketika dikala kedua hamba menemani tuannya, dengan hati-hati dan sopan, hamba itu mengajukan pertanyaan,
“Tuan yang gagah perkasa, segenap rakyat di negeri ini telah mengakui kesaktian dan kehebatan Tuanku yang tiada tandingnya. Tuan tidak mempan oleh senjata. Oleh lantaran itu, jikalau sekiranya tidak merupakan kesalahan dan tidak pula merupakan hal yang tidak wajar, hamba yang hina ini sangat ingin mengetahui ilmu istimewa apakah yang kiranya Tuan miliki?”
Ncuhi Mawo menjawab dengan tersenyum seraya membusungkan dada, “Sesungguhnya saya tidak mempunyai ilmu apapun, tetapi lantaran golok pusaka yang kupakai ini. Siapa saja yang memakainya takkan terkalahkan oleh musuh manapun. Tapi sebagai insan saya pun mempunyai kelemahan. Ada kepingan tubuhku yang sanggup dilukai senjata yaitu ibu jari kakiku.”
Sangat bangga kedua hamba mendengarnya. Dan ketika Ncuhi Jia berkunjung dikala Ncuhi Mawo pergi, diceritakanlah rahasia tersebut. Ncuhi Jia memuji mereka dan memintanya tetap bekerja menjadi orang kepercayaan Ncuhi Mawo.
Ncuhi Jia kemudian mengadakan musyawarah dengan Ncuhi- Ncuhi tetangga yang memihak dirinya. Mereka bersepakat akan mengerahkan rakyat untuk tolong-menolong memperbaiki sebuah bendungan yang rusak, yaitu bendungan di So Kalate. Tempat itu terletak di antara kawasan Ncuhi Jia dan Ncuhi Mawo. Setelah disepakati bersama, datanglah mereka menghadap Ncuhi Mawo untuk memberikan laporan. Dengan bahasa yang sopan dan memberikan niat baik untuk membantu. Ncuhi Mawo sangat tertarik dan ia setuju.
Keesokan harinya pada dikala yang telah disepakati ramailah orang-orang berkumpul di tempat yang telah ditentukan, siap dengan alat-alat. Ncuhi Jia meminta mereka semua ke rumah Ncuhi Mawo untuk memintanya memancangkan tiang pertama sebagai tanda kehormatan. Selain itu orang-orang juga diminta meninggalkan alat-alat di sini dengan dijaga Ncuhi Jia semoga Ncuhi Mawo tak berprasangka buruk.
Sementara orang-orang pergi, Ncuhi Jia menumpulkan alat-alat tersebut. Ketika rombongan kembali bersama Ncuhi Mawo, bertanyalah Ncuhi Mawo pada adiknya, “Ncuhi Jia, mengapa adinda tidak turut serta menjemput Kakanda?”
“Kakanda Tuanku, telapak kaki Adinda menginjak duri besar nan runcing. Berdiri pun tak bisa. Sudah Adinda usahakan dengan aneka macam alat yang ada, namun alat sebanyak ini tumpul semua. Maka, sekiranya mungkin, izinkanlah Adinda meminjam golok Kakanda sebentar,” jawabnya dengan bunyi dalam sambil meringis.
Tanpa curiga Ncuhi Mawo meminjamkan goloknya. Dan ketika Ncuhi Mawo mengamati sekitar bendungan, secepat kilat Ncuhi Jia memukulkan golok itu pada ibujari kaki Ncuhi Mawo. Seketika Ncuhi yang sombong itu pun roboh. Ia mati. Orang-orang kaget. Namun orang-orang Ncuhi Mawo pun tak sanggup berbuat apapun lantaran senjata mereka sudah dikumpulkan dan disimpan Ncuhi Jia. Sejak itu, para Ncuhi berikrar selalu setia pada Baginda.
Ncuhi Jia mengubur mayat Ncuhi Mawo di puncak bukit bersahabat rumahnya. Hingga sekarang makam Ncuhi Mawo itu masih ada, yaitu di kepingan Barat kampung Jia di Kecamatan Sape. Kata orang, kerikil besar rata yang ada di tempat itu merupakan tanda tempat pengumpulan senjata milik orang banyak pada waktu pembangunan bendungan dulu.
Ncuhi Mawo amat disegani dan ditakuti oleh ncuhi-ncuhi lain. Ia seorang ncuhi yang populer peberani, kebal, lagi sakti. Itulah sebabnya ia menjadi arogan dan sombong serta suka merendahkan orang lain.
Menurut adat, setiap tahun semua ncuhi yang ada di bawah kekuasaan pemerintahan Baginda berkewajiban ke istana dan menyerahkan upeti kepada Sangaji. Akan tetapi dalam tahun ini Ncuhi Mawo tidak mau menghadap. Bahkan ia menghasut rekannya ncuhi-ncuhi yang lain supaya tidak menghadap ke istana. Ia pernah berkata, “Martabatku sama saja dengan martabat Sangaji.” Ncuhi-ncuhi yang lain hanya membisu saja dikala mendengarnya. Namun tak ada seorang pun yang terpengaruh.
Tentang pembangkangan Ncuhi Mawo, Baginda Sangaji telah mengetahuinya. Maka dipanggilnya semua ncuhi bawahannya untuk mengadakan sidang khusus.
“Sampai selesai tahun ini Ncuhi Mawo tidak tiba memenuhi kewajibannya. Barangkali Anda ada yang mengetahui keadaaan Ncuhi Mawo yang sebenarnya? Harap Anda semua memberi kesaksian,”demikianlah Baginda Sangaji memulai sidang.
“Tuanku Baginda yang mulia, berdasarkan pernyataannya sendiri yang kami dengar, ia memang sengaja tidak tiba menghadap. Bahkan ia pernah menyampaikan kedudukannya sama dengan Baginda. Kami yakin ia tidak mengalami kesulitan. Ia bahkan pernah menghasut semoga kami mengikuti jejaknya” Demikian kesaksian Ncuhi yang pernah diajak bicara Ncuhi Mawo.
Baginda tak menyangka sejauh itu perbuatan Ncuhi Mawo. Beliau berterimakasih kepada ncuhi-ncuhi yang lain atas kesaksiannya. Kemudian Baginda memutuskan bahwa jikalau Ncuhi Mawo tidak mau mengubah sikapnya, ia harus dijatuhi hukuman.
Sangaji kemudian mengirim beberapa orang utusan untuk memberikan keputusan tersebut kepada Ncuhi Mawo, namun ia tetap menentang. Akhirnya Baginda memutuskan Ncuhi Mawo dijatuhi eksekusi mati. Untuk melakukan eksekusi bagi Ncuhi Mawo, ditugaskan Ncuhi Jia, adik kandung Ncuhi Mawo. Tugas yang amat berat, namun Ncuhi Jia bersedia menerimanya.
Ncuhi Jia kemudian memeras otak mencari cara semoga pelaksanaan eksekusi itu tidak tampak keji dan mengerikan. Ia mendapat wangsit kemudian menghadap Baginda Sangaji belakang layar memohon semoga ia diberi dua pekerja istana yang terpercaya untuk membantunya. Tentu Baginda menyanggupi.
Dalam melakukan tugasnya, Ncuhi Jia bersiasat pertama-tama ia akan menyerahkan dua orang pekerja istana tersebut menyamar sebagai hamba Ncuhi Mawo semoga sanggup menjadi mata-mata. Tugasnya yaitu mencari tahu di kepingan badan mana letak rahasia kesaktian dan kekebalannya, juga apa sebab-sebabnya.
Kemudian Ncuhi Jia membawa mereka pada Ncuhi Mawo. Dijelaskannya bahwa 2 hamba ini jujur, rajin, dan setia, hadiah dari Baginda bahwa murkanya telah tiada. Permasalahan dijelaskan begitu halus dan piawai. Sehingga Ncuhi Mawo sangat bangga dan tidak curiga.
Setelah sekian usang kedua orang itu menjadi hamba yang baik di rumah Ncuhi Mawo, mereka sekarang tak diragukan lagi kesetiaannya. Pada suatu ketika dikala kedua hamba menemani tuannya, dengan hati-hati dan sopan, hamba itu mengajukan pertanyaan,
“Tuan yang gagah perkasa, segenap rakyat di negeri ini telah mengakui kesaktian dan kehebatan Tuanku yang tiada tandingnya. Tuan tidak mempan oleh senjata. Oleh lantaran itu, jikalau sekiranya tidak merupakan kesalahan dan tidak pula merupakan hal yang tidak wajar, hamba yang hina ini sangat ingin mengetahui ilmu istimewa apakah yang kiranya Tuan miliki?”
Ncuhi Mawo menjawab dengan tersenyum seraya membusungkan dada, “Sesungguhnya saya tidak mempunyai ilmu apapun, tetapi lantaran golok pusaka yang kupakai ini. Siapa saja yang memakainya takkan terkalahkan oleh musuh manapun. Tapi sebagai insan saya pun mempunyai kelemahan. Ada kepingan tubuhku yang sanggup dilukai senjata yaitu ibu jari kakiku.”
Sangat bangga kedua hamba mendengarnya. Dan ketika Ncuhi Jia berkunjung dikala Ncuhi Mawo pergi, diceritakanlah rahasia tersebut. Ncuhi Jia memuji mereka dan memintanya tetap bekerja menjadi orang kepercayaan Ncuhi Mawo.
Ncuhi Jia kemudian mengadakan musyawarah dengan Ncuhi- Ncuhi tetangga yang memihak dirinya. Mereka bersepakat akan mengerahkan rakyat untuk tolong-menolong memperbaiki sebuah bendungan yang rusak, yaitu bendungan di So Kalate. Tempat itu terletak di antara kawasan Ncuhi Jia dan Ncuhi Mawo. Setelah disepakati bersama, datanglah mereka menghadap Ncuhi Mawo untuk memberikan laporan. Dengan bahasa yang sopan dan memberikan niat baik untuk membantu. Ncuhi Mawo sangat tertarik dan ia setuju.
Keesokan harinya pada dikala yang telah disepakati ramailah orang-orang berkumpul di tempat yang telah ditentukan, siap dengan alat-alat. Ncuhi Jia meminta mereka semua ke rumah Ncuhi Mawo untuk memintanya memancangkan tiang pertama sebagai tanda kehormatan. Selain itu orang-orang juga diminta meninggalkan alat-alat di sini dengan dijaga Ncuhi Jia semoga Ncuhi Mawo tak berprasangka buruk.
Sementara orang-orang pergi, Ncuhi Jia menumpulkan alat-alat tersebut. Ketika rombongan kembali bersama Ncuhi Mawo, bertanyalah Ncuhi Mawo pada adiknya, “Ncuhi Jia, mengapa adinda tidak turut serta menjemput Kakanda?”
“Kakanda Tuanku, telapak kaki Adinda menginjak duri besar nan runcing. Berdiri pun tak bisa. Sudah Adinda usahakan dengan aneka macam alat yang ada, namun alat sebanyak ini tumpul semua. Maka, sekiranya mungkin, izinkanlah Adinda meminjam golok Kakanda sebentar,” jawabnya dengan bunyi dalam sambil meringis.
Tanpa curiga Ncuhi Mawo meminjamkan goloknya. Dan ketika Ncuhi Mawo mengamati sekitar bendungan, secepat kilat Ncuhi Jia memukulkan golok itu pada ibujari kaki Ncuhi Mawo. Seketika Ncuhi yang sombong itu pun roboh. Ia mati. Orang-orang kaget. Namun orang-orang Ncuhi Mawo pun tak sanggup berbuat apapun lantaran senjata mereka sudah dikumpulkan dan disimpan Ncuhi Jia. Sejak itu, para Ncuhi berikrar selalu setia pada Baginda.
Ncuhi Jia mengubur mayat Ncuhi Mawo di puncak bukit bersahabat rumahnya. Hingga sekarang makam Ncuhi Mawo itu masih ada, yaitu di kepingan Barat kampung Jia di Kecamatan Sape. Kata orang, kerikil besar rata yang ada di tempat itu merupakan tanda tempat pengumpulan senjata milik orang banyak pada waktu pembangunan bendungan dulu.
Sumber : http://2ira8.wordpress.com/2008/11/16/cerita-rakyat-dari-ntb-ncuhi-mawo/