INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Ken Arok – Empu Gandring-3

KEN AROK – EMPU GANDRING.3 -4.
KEN AROK – EMPU GANDRING-3…
Mau tidak mau Empu Gandring tersenyum juga. Keponakannya ini memang pandai bicara, dan teringatlah dia akan nasib adiknya, ayah dari Ginantoko, yaitu Empu Krepo.
Adiknya itupun mempunyai tabiat yang sama dengan Ginantoko, hanya lantaran adiknya itu tidak setampan Ginantoko, maka banyak perempuan yang menolaknya sehingga pada suatu hari beliau melaksanakan pemaksaan atas diri seorang perempuan dan
akibatnya beliau harus menebus dengan nyawa lantaran beliau dikeroyok oleh suami dari perempuan itu bersama teman-temannya.

“Jangan begitu, Nantoko. Kalau kamu lanjut-lanjutkan, akhirnya engkau pun akan terancam ancaman maut,karena laki-laki mana yang tidak akan merasa sakit hatinya jikalau melihat istrinya diganggu laki-laki lain?
” Musuhmu menjadi bertambah banyak dan engkau tahu diri, ilmu kadigdayaan itu ada batasnya. Setinggi-tingginya Gunung Mahameru, masih ada langitnya dan bintang yang tak terhitung yang jauh lebih tinggi lagi. Sepandai-pandainya orang, tentu akan ada yang lebih pandai lagi.”
Ginantoko mengerutkan alisnya,
“Maaf, Paman. Saya kira mati bukanlah urusan kita, setiap orang pada akhirnya mesti mati. Kalau Yang Maha Kuasa mneghendaki, saya tidak akan mati biar dikeroyok seribu orang sekalipun. Akan tetapi jikalau Sang Hyang Syiwa sudah menghendaki, biar saya bersembunyi dilubang semut, maut akan tiba juga menjemput.Ada yang mati dalam perang lantaran beliau perajurit, mati dalam perkelahian lantaran pendekar, dan jikalau saya mati lantaran urusan perempuan yang memang menjadi kesukaan saya, maka saya pun sudah rela.”
Mendengar bantahan itu, Empu Gandring hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kehendak Hyang Widhi tak sanggup diubah oleh siapa pun juga….” keluhnya.
Bagi Ginantoko, ucapan itu dikiranya membenarkan pendapatnya tadi, padahal maksud Empu Gandring ialah lain. Dia melihat dengan indra ke enamnya bahwa cowok itu akhirnya akan mengalami nasib yang sama menyerupai mendiang ayahnya. Dia sudah mencoba untuk mengingatkan. Nasib seorang bergantung di dalam tangannya sendiri. Kalau orang mau mengubah kebiasaan yang buruk, tentu nasibnya akan berubah pula.
Semenjak Ken Endok bercerai dari suaminya dan perempuan yang sudah mengandung ini tinggal di Dusun Pangkur dan bekas suaminya Gajahporo tinggal di Dusun Cempoko, terdengar info bahwa lima hari sehabis perceraian itu, Gajahporo meninggal dunia!
Hal ini tolong-menolong terjadi lantaran luka di sebelah dalam tubuhnya akhir pukulan dan tendangan Ginantoko yang sakti. Akan tetapi lantaran info bahwa Ken Endok dipilih Sang Hyang Brahma sebagai istri dan telah mengandung keturunan tuhan itu, maka ramailah orang mempercakapkan ajal itu. Sebagian besar menyampaikan bahwa tentu Gajahporo telah melaksanakan pelanggaran, hendak menggauli istrinya, terkena kutuk dan kualat!
Dan malanglah bagi Ken Endok, semenjak bercerai dan ajal bekas suaminya. Sang Arjuna tidak pernah muncul lagi! Agaknya sehabis ia mengandung. Laki-laki ganteng itu tidak berminat lagi mendekatinya dan jadilah Ken Endok seorang janda yang mengandung bau tanah tanpa suami!
Mulailah penyesalan tiba dalam hati perempuan ini. Penyesalan yang sudah terlambat. Dan memang sesal kemudian tidak ada gunanya sama sekali, hanya mengundang kedukaan dan kekeruhan pikiran yang akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang sesat pula.
Kadang-kadang, kesenangan sekelumit yang dinikmati akan mendatangkan penyesalan selama hidup. Oleh lantaran itu, sekali lagi, orang bijaksana
tidak akan MENGEJAR KESENANGAN, walaupun hal ini bukan berarti menolak kesenangan yang sudah menjadi hak setiap insan untuk menikmatinya.

Kandungannya semakin bau tanah dan hatinya semakin trenyuh. Pria yang diidamkannya tak kunjung tiba biar pun setiap malam ia sudah bersembahyang memohon kepada Sang Hyang Brahma semoga berkenan mengunjunginya. Tentu saja sebagai seorang yang percaya penuh akan anggapan bahwa ayah anak yang dikandungnya ialah Sang Hyang Brahma, Ken Endok tidak berani murka dan hanya karam dalam kesedihannya saja.
****
Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tentu saja tidak lepas dari pada ikatan lantaran dan akibat.Ada akhir tentu ada sebabnya, dan ada lantaran tentu saja ada akibatnya.
Pada suatu pagi, dua pasang insan sedang berkasih-kasihan di tepi Sungai Brantas, di lembah yang hijau subur. Mereka berdua saling berangkulan dengan asyik masyuk, lupa akan keadaan di sekeliling mereka. Seolah-olah di dalam
dunia hanya ada mereka berdua yang perempuan ialah seorang muda paling banyak dua puluhlima tahun, berkulit agak hitam, akan tetapi hitam manis.

“Ihh, kamu nakal, Kakangmas!” si perempuan menepiskan tangan Ginantoko yang jahil dan menimbulkan kemben perempuan itu terlepas.
Ginantoko merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra, menciptakan si perempuan hanya sanggup merintih,
“kenapa nakal? Bukankah kita sudah sering melakukan?”
“Benar, akan tetapi di malam hari, dan di daerah yang tersembunyi. Bukan pagi-pagi hari begini.”
“Apa bedanya? Di sini pun sunyi dan pagi ini cerah sekali, hawanya sejuk menimbulkan selera….”
“Ihh, kamu tak puas-puasnya!”
“Mana bisa puas menghadapi seorang perempuan sepertimu, Diajeng Galuhsari? Kalau bisa, kamu ingin kutelan semoga selamanya berada dalam diriku.”
“Hiiih, apa kamu mau menjadi Buto Ijo?” Wanita itu cemberut dan mereka tertawa-tawa sambil bermesraan.
Dua insan itu sama sekali tidak mengira bahwa agak jauh dari daerah itu, di balik semak belukar,terdapat lima pasang mata yang mengintai semua gerak-gerik mereka.Limapasang mata yang semakin usang semakin merah menyala saking marahnya.
Andaikata dua insan itu tidak sedang karam dalam nafsu birahi, tentu mereka akan sanggup mengetahui bahwa mereka sedang diintai bahaya. Ginantoko ialah seorang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan pendengaran dan penglihatannya sudah terlatih dengan amat baik sehingga kedatangan orang yang mendatangkan sedikit bunyi saja sudah akan sanggup ditangkapnya.
Juga perempuan hitam manis itu bukan sembarangan. Wanita yang berjulukan Galuhsari itu ialah istri dari ketua perkumpulan Sabuk Tembaga yang populer sebagai
perguruan pencak silat yang terkenal. Dan sebagai istri ketua perkumpulan itu, tentu saja Galuhsari juga pandai ilmu bela diri dan tidak sembarang orang, biar beliau laki-laki, bisa mengalahkannya.

Kalau beliau hingga jatuh hati dan mau saja dipermainkan dalam cinta oleh Ginantoko ialah lantaran pertemuan mereka yang pertama kali amat terkesan di hatinya lantaran ia dikalahkan oleh Ginantoko! Pertemuan itu terjadi di dalam hutan ketika Galuhsari sedang memburu kijang. Ketika ia melepaskan anak panah,
tiba-tiba saja anak panahnya itu disambar orang dan Ginantoko menangkapkan kijang itu hidup-hidup untuknya.

Mula-mula Galuhsari murka dan terjadi perkelahian di antara mereka, namun Ginantoko mempermainkan perempuan itu yang akhirnya terjatuh ke dalam pelukannya!
Siapakah limaorang yang sedang mengintai dari balik semak belukar itu? Bukan lain ialah Ki Bragolo sendiri, ketua dari perkumpulan Sabuk Tembaga! Dan yang empat orang ialah murid kepala yang sudah mempunyai tingkat paling tinggi di antara para murid Sabuk Tembaga.
Mudah saja dibayangkan betapa perasaan hati Ki Bragolo menyaksikan istrinya bermain cinta begitu bebasnya di alam terbuka, tanpa malu-malu sama sekali! Dan yang menciptakan beliau semakin panas hatinya, belum pernah istrinya bersikap seberani dan segairah itu apabila bermain cinta dengan dia, suaminya!
Galuhsari telah menjadi istrinya selama hampir sepuluh tahun, ketika perempuan itu gres menginjak usia enam belas tahun dan beliau sendiri sudah limapuluh tahun, Kini usianya sudah enam puluh tahun.
Namun Ki Bragolo ialah seorang kakek yang betubuh tinggi besar menyerupai raksasa, dengan tenaga gajah dan senjatanya yang ampuh, yaitu sabuk tembaga, yang juga menjadi nama perguruannya, amat ditakuti orang!
Tentu saja Ki Bragolo tidak kuasa menahan lagi kesabaran hatinya. Dia tidak rela membiarkan istrinya itu menikmati permainan cinta liar itu hingga puas, dan dengan penuh kemarahan beliau meloncat keluar diikuti oleh empat orang muridnya, yaitu empat laki-laki yang usianya rata-rata sudah tiga puluh tahun lebih.

Mereka berempat juga merasa panas hatinya melihat betapa istri guru mereka bermain cinta demikian mesranya dengan Ginantoko. Mereka semua belakang layar juga tergila-gila pada istri guru mereka yang cantik, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka pernah memperoleh kesempatan merasakan madu kembang itu yang sama sekali menyampaikan perilaku ramah atau mesra kapada laki-laki lain.
Dan kini tahu-tahu bermain cinta sedemikian mesranya dengan laki-laki lain.
Tentu saja Ginantoko dan Galuhsari terkejut bukan main melihat keluarnya lima orang itu, apalagi ketika mengenal bahwa yang keluar itu Ki Bragolo sendiri bersama empat orang murid cabang atas.

Wajah Galuhsari menjadi pucat, akan tetapi cepat ia membereskan pakainnya.
Ginantoko sendiri menyampaikan perilaku seorang petualang asmara yang tulen. Dengan amat tenangnya,sambil tersenyum, beliau membereskan pakaiannya, bahkan sempat membereskan gelungan rambutnya sebelum menghadapi lima orang itu sambil tersenyum ramah!

“Kiranya paman Ki Bragolo yang datang. Selamat pagi, Paman.”
Dapat dibayangkan betapa dada raksasa bau tanah itu menyerupai akan meledak! Dengan mata melotot menyerupai akan keluar dari pelupuknya, Ki Bragolo membentak,
“Ginantoko, jahanam keparat! Engkau telah merusak pagar ayu, mengganggu istriku dan engkau masih bersikap menyerupai ini dan tidak lekas berlutut minta ampun?”
Ginantoko tersenyum lebar dan mengusap keringat di leher dan dahinya. Permainan asyik dan masyuk bersama kekasihnya tadi menciptakan beliau berkeringat.
“Paman Ki Bragolo, seorang laki-laki tidak akan melarikan diri dari kenyataan, tidak akan melarikan diri dari tanggung jawab. Memang saya dan Diajeng
Galuhsari saling mencintai. Itulah kenyataan dan kini terserah kepada Paman. Untuk apa saya minta ampun?”

“Babo-babo! Sumbarmu menyerupai sanggup memecahkan watu hitam! Ginantoko, perbuatanmu yang laknat itu hukumannya hanya satu yaitu eksekusi mati!”
“Hemmm, begitukah, paman? Dan siapa gerangan orang yang akan menghukum aku?”
“Akulah yang akan membunuhmu, keparat!” hardik seorang di antara murid Ki Bragolo, dan beliau sudah menerjang ke depan sehabis beliau tadi melolos sabuknya.
Setiap murid akademi Sabuk Tembaga selalu menggunakan sebuah sabuk terbuat dari tembaga di pinggangnya, dan tingkat mereka sanggup diukur dari tebal
tipis dan berat ringannya sabuk itu. Kini penyerang yang tingkatnya sudah paling tinggi di antara murid-murid itu, sabuknya tebal dan besar, tidak kurang dari lima kilo beratnya.

“Wirr……!” Sabuk yang berat dan panjangnya tidak kurang dari satu meter itu diayun di atas kepalanya kemudian turun menyambar ke arah kepala Ginantoko.
Pemuda itu masih tersenyum, kemudian dengan sedikit miringkan kepala, sambaran sabuk itu pun luput. Penyerangnya ingin tau dan sabuk itu tidak berhenti,
terus menciptakan gerakan melengkung dan membalik, kini menyambar ke arah dada Ginantoko.
Ginantoko tidak beranjak dari daerah beliau berdiri hanya kini tangan kirinya menangkis sambaran sabuk tembaga itu. Sungguh perbuatan yang berani sekali, menangkis sambaran senjata itu dengan tangan kosong saja.

“Plakk! Desss!” Dan tubuh murid pertama itu pun terpelanting. Kiranya lengan kiri Ginantoko kebal dan sanggup menangkis senjata itu dan berbareng beliau sudah mengirim tendangan yang mengenai perut lawan, menciptakan lawan terjengkang dan terpelanting.
Marahlah Ki Bragolo. Dia menggereng menyerupai seekor beruang marah, dan sabuknya yang beratnya belasan kilo itu pun sudah merada di tangan kanannya. Juga tiga orang murid lainnya sudah murka dan mereka pun menyerbu. Murid yang tadi tertendang jatuh juga berdiri lagi.

“Aha, kiranya ketua Sabuk Tembaga hanyalah seorang kakek yang beraninya hanya melaksanakan pengeroyokan!” Ginantoko berseru mengejek sambil melaksanakan pengelakan dengan loncatan ke kanan dan ke kiri dengan amat lincahnya, kadang kala menangkis dengan kedua lengannya. Memang jago cowok ini . Hantaman sabuk tembaga di tangan Ki Bragolo yang beratnya belasan kilo pun berani beliau menangkisnya.
Sementara itu, Galuhsari hanya nonton dengan hati tidak karuan rasanya. Ia memang benar istri Ki Bragolo, sudah sepuluh tahun, akan tetapi mereka tidak mempunyai anak, dan pula, ia tidak pernah sanggup menyayangi suami yang sepak terjangnya menyerupai raksasa, kasar dan tidak pernah menyampaikan kemesraan itu. Di tanganKi Bragolo,iamerasa menyerupai menjadi boneka yang dipermainkan saja. Berbeda jikalau ia bercinta dengan Ginantoko, ia benar-benar merasakan kenikmatan lantaran ia bukan hanya dicintai dan dipermainkan, melainkan ia pun mencinta dan memparmainkan, permainan cinta mereka bukan sepihak saja, melainkan permainan mereka bersama dan dinikmati bersama. Hanya kini ia merasa menyesal lantaran ia telah menyeret Ginantoko ke dalam kesulitan.

Menghadapi suaminya kini, apalagi masih dibantu empat orang murid, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya dan berat.
Namun, semakin usang ia menjadi semakin kagum terhadap kekasihnya. Ginantoko benar-benar hebat.

Kini bukan saja ia sanggup mengelak dan menangkis, bahkan mulai membalas. Ketika ada sabuk tembaga menyambar ke arah perutnya dari samping, beliau malah tersenyum dan tidak menangkis, membiarkan
sabuk itu mengenai lambungnya.

“Bukk!” Dan si pemegang sabuk itu menjerit kesakitan lantaran telapak tangannya sendiri lecet.
Seolah-olah sabuknya tadi menghantam lambung baja saja. Ki Bragolo maklum bahwa cowok murid Empu Gandring ini memang kebal, maka beliau pun berseru,

“Serang kepalanya!”
Memang Ki Bragolo yang sudah bau tanah itu, banyak pengalamannya. Orang boleh kebal badannya, akan tetapi sukar untuk mempelajari ilmu kekabalan kepala! Di kepala terdapat otak yang gampang terguncang, apalagi di pecahan muka terdapat bagian-bagian lemah menyerupai mata, hidung, mulut, dan telinga. Setelah kini
lima batang sabuk tembaga menghujamkan serangan ke arah kepalanya, Ginantoko mulai terdesak.
Pukulan mengenai leher, bahu ke bawah, diterimanya dengan proteksi kekebalan, akan tetapi yang menyerang kepala terpaksa harus ditangkis atau dielakkan.

Dia pun mulai murka dan sambil mengeluarkan pekik panjang, tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dan dua orang murid Sabuk Tembaga jatuh tersungkur dan tidak ada yang bisa berdiri kembali terkena pukulan kedua tangan yang ampuh dari cowok itu.
Melihat ini, Ki Bragolo terkejut, Ginantoko menerima hati, dan kini ia mendesak lagi dua orang murid lainnya. Dipikirnya, jikalau empat orang murid gampang roboh, akan gampang baginya untuk menghadapi dan mengalahkan Ki Bragolo yang tangguh itu.
Melihat itu, Ki Bragolo khawatir kehilangan semua muridnya.
Pada ketika Ginantoko melancarkan serangan dahsyat ke arah dua orang muridnya, belakang layar beliau melolos sebatang keris dari pinggangnya dan menusukkan keris itu ke dada Ginantoko.

Pemuda itu masih tersenyum dan mendapatkan bacokan keris itu sambil mengerahkan tenaga sakti di tubuhnya untuk membuat
bagian dada yang tertusuk itu menjadi kebal. Keris itu meluncur dan menghujam dada.

“Crapp…..!”
“Aduuuuuhhh…… heiiii, aduh…..!” Ginantoko mengeluh keheranan dan ketika keris itu dicabut, darah muncrat-muncrat keluar dari dadanya lantaran ujung keris mengenai jantungnya.
“Kakangmas……..!” Galuhsari menjerit dan lari menubruk kekasihnya, kemudian ia pun melompat dan melolos sabuk tembaga dari pinggangnya. “Engkau….. engkau….. curang, mengeroyok dan membunuhnya.” Dan istri ini pun menyerupai seekor singa betina telah menerjang suaminya sendiri.
Akan tetapi, lantaran Ki Bragolo ialah guru juga dari Galuhsari, dengan gampang Ki Bragolo mengelak, lalu
dengan keris yang masih berair oleh darah Ginantoko itu meluncur dan memasuki dada Galuhsari. Wanita itu menjerit dan roboh terguling.
Ginantoko merangkak duduk dan memandang ke arah keris di tangan lawan. Dia melihat sebatang keris panjang dengan lekukanlimabelas, sebatang keris yang mengeluarkan sinar asing dan melihat keris itu, dia
menjadi pucat.

“Empu…. Empu Gandring…”
“Ha-ha-ha-ha, insan hina. Memang benar, saya meminjam pusaka empu Gandring ini dari gurumu sendiri, ha-ha-ha-ha!”
“Ah, paman Empu Gandring…… saya mati oleh kerismu….. semoga engkau pun akan mati oleh kerismu sendiri…..” dan Ginantoko pun terkulai dan menghembuskan napas terakhir, hampir bersamaan dengan kekasihnya.
BERSAMBUNG -KEN AROK – EMPU GANDRING-4
KEN AROK – EMPU GANDRING-4

“Kakang Empu, terima kasih atas tunjangan pinjam keris pusaka ini. Terima kasih dan ini saya kembalikan dalam keadaan utuh,” Kata Bragolo kepada Empu Gandring yang duduk dikelilingi cantriknya.
Empu Gandring mendapatkan keris itu dan mencabutnya dari sarungnya. Melihat betapa di ujung keris itu ada darah yang sudah kering, sepasang alis kakek itu berkerit dan Ki Bragolo cepat berkata, “Maafkan saya, Kakang Empu. Sudah saya usahakan untuk mencuci higienis noda darah itu, namun tidak berhasil.”
Kakek itu manarik napas panjang dan mengangguk-angguk.
“Kalau yang menodai hanya darah laki-laki saja, atau darah wanita, tentu gampang dibersihkan. Akan tetapi jikalau yang menodai darah adonan antara darah laki-laki dan darah wanita, tak mungkin dilenyapkan, Adi Bragolo. Sekarang katakan saja terus terang, darah siapakah yang telah menodai Keris pusaka ini?”
Ketika melihat Ki Bragolo nampak ragu-ragu dan wajahnya pucat, Empu Gandring berkata lagi, ”Tak usah ragu-ragu atau khawatir, Adi Bragolo. Segala insiden yang terjadi sudah dikehendaki oleh Hyang Widhi Wasa, yang penting kita
berada dipihak yang benar. Tanpa kamu ceritakan saya sanggup mengetahui, akan tetapi saya tidak ingin mendahului kenyataan.”

Mendengar ini, Ki Bragolo mengusap air matanya. Ampun beribu ampun, Kakang Empu, terus terang saja, ketika meminjam keris pusaka itu, saya sudah mempunyai niat untuk membunuh murid dan keponakan Kakang sendiri, yaitu Ginantoko! Dia telah berjina dengan istri saya, maka tidak ada jalan lain bagi saya kecuali membunuh mereka.”
Sang Empu Gandring menarik napas panjang dan memejamkan matanya sejenak. Dia amat menyayangi Ginantoko, akan tetapi cowok itu memang tewas oleh tingkahnya sendiri dan hal ini beberapa bulan yang kemudian pernah ia peringatkan.
“Ahh, engkau tidak bijaksana menjadi suami. Akan tetapi, mengapa untuk membunuhnya engkau harus meminjam pusakaku?”
“Maaf, Kakang Empu. Ginantoko ialah murid Kakang, mempunyai kekebalan yang ampuh dan saya mengira bahwa kekebalannya itu hanya akan punah jikalau diterjang pusaka ciptaan Empu Gandring.Bukan begitu, Kakang Empu?”
Empu Gandring menarik napas panjang. “Dugaanmu yang sempurna itu menjadi tanda bahwa memang sudah tiba saatnya Ginantoko harus meninggalkan dunia ini. Dan memang beliau sudah menyampaikan bahwa beliau akan puas jikalau tewas dalam melaksanakan kesukaannya dan beliau tewas diujung keris yang sama dengan
kekasihnya yang terahir. Aduhhh, dunia penuh dengan kesengsaraan yang dibentuk oleh insan sendiri.”

Setelah Ki Bragolo dan murid-muridnya meninggalkan padepokan Empu Gandring, kakek ini kemudian mengutus cantrik-cantriknya untuk mengambil mayat Ginantoko dan Galuhsari, mengurus jenasah dengan seperlunya. Untuk pembakaran kedua mayat itu, beliau memberi tahu kepada istri Ginantoko yang
masih mengandung.

Istri Ginantoko juga bukan orang sembarangan. Ia berjulukan Dyah Kanti, puteri tunggal dari panembahan Pronosidhi yang bertapa di lereng Gunung Anjasmoro. Ketika pertam kali bertemu dengan Dyah Kanti yang menjadi istrinya itu, Ginantoko masih menjadi murid Empu Gandring dan belum nampak sifatnya
yang mata keranjang.

Baru sehabis beliau menikah dan istrinya mulai mengandung, penyakit mata keranjang itu menghinggapinya dan makin usang makin menghebat.
Dyah Kanti menangis dan jikalau saja ia tidak sedang mengandung, tentu akan ikut mati obong (bunuh diri dalam api) bersama jenasah suaminya. Akan tetapi Empu Gandring, dan juga panembahan Pronosidi yang hadir, menasehatinya. Bahkan ketika perempuan itu menyatakan kemarahan dan dendamnya kepada Ki Bragolo, ayahnya sendiri menegurnya.

“Angger Kanti, anakku. Tenangkan dulu batinmu dan jernihkan pikianmu. Orang tidak harus melihat akhir saja tanpa menjenguk sebabnya. Kematian suamimu dibunuh orang hanyalah akibat, dan sebabnya terletak pada diri suamimu sendiri. Menuruti perasaan dan dendam hanya akan meracuni batinmu.
Sekarang duduklah engaku dengan damai dan bayangkan dirimu sendiri. Andaikata engkau seorang suami kemudian melihat istrimu digoda laki-laki lain, apa yang akan kamu lakukan?”

Dyah Kanti tak bisa menjawab.
Andaikata aku, anakku, yang mengalami petaka menyerupai yang menimpa diri Ki Bragolo, saya akan mengalah dan membiarkan saja, bahkan saya akan menganjurkan mereka untuk bersatu menjadi sepasang suami istri. Akan tetapi mungkin hanya beberapa orang menyerupai saya dan Adi Empu Gandring saja yang bisa melaksanakan hal itu. Sebagian besar orang tentu akan dihinggapi amarah yang mebuat mata gelap dan terjadilah permusuhan dan pembunuhan.
Kematian suamimu sudah wajar, lantaran perbuatannya sendiri. Dan ingat baik-baik, saya berpesan semoga kelak engkau tidak menanamkan dendam dalam batin anakku!”
“Sadhu-sadhu-sadhu….! Apa yang diucapkan Kakang Panembahan itu sungguh sempurna sekali. Lihat, anginpun berhenti besilir untuk mendengarkan wejangan yang amat suci itu, anakku yang baik. Dyah Kanti,engkau taatilah pesan ayahmu dan keris pusaka Sakti ini kuberikan kepadamu, semoga kelak kauserahkan pada anakmu. Akan tetapi ingat, jikalau hingga dipergunakan untuk mebalas dendam, akibatnya
bisa mengutuk sendiri,” berkata demikian, Empu Gandring kemudian menyerahkan keris pusaka yang panjang berlekukan limabelas itu.

Dan Empu Gandring memberitahu bahwa nama keris itu ialah Keris Sakti Nogopasung.
Diingatkan oleh dua orang kakek sakti yang bijaksana itu, luluh semua kekerasan hati Dyah Kanti dan iapun kemudian ikut bersama ayahnya kembali ke padepokan ayahnya di lereng Gunung Anjasmoro.
****
Ken Endok mengalami penderitaan batin yang sama berat. Memang masih ada yang percaya bahwa anak dalam kandungannya itu keturunan Sang Hyang Brahma, akan tetapi ada pula verbal usil para tetangga, terutama sekali para wanita, yang mulai menyindir-nyindir lantaran ia seorang janda muda yang
mengandung tanpa ayah! Karena merasa menderita batin, hampir saja ia tewas ketika melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat.

Untung ia ketulungan oleh seorang dukun beranak yang pandai dan teringat akan pesan “Sang Hyang Brahma”, anak itu kemudian diberi nama Ken Arok!
( Sebelum pengarang melanjutkan kisah ini, patut kiranya diketahui oleh para pembaca bahwa kisah ihwal Ken Arok – Ken Dedes dianggap sebagai dongeng dan hanya terdapat dalam kitab Pararaton yang barasal dari Pulau Bali.
Dalam Kitab Negarakertagama nama Ken Arok tidak disebut-sebut.
Pengarang sengaja menggubah lagi ihwal kisah Ken Arok ini sehabis mempelajari banyak kitab kuno, antara lain Negarakertagama, Babat Tanah Jawi, Sarwasastra, Sejarah Kerajaan Majapahit dan lain-lain,
Lalu pengarang olah dengan hasil khayal sendiri. Adapun kisah mengenai Ken Arok ini, hanya merupakan latar belakang sejarah saja, dan tokoh-tokoh lain yang muncul dalam kisah ini hanya khayali pengarang semata.)

Mungkin lantaran malu melahirkan seorang anak tanpa bapak yang jelas, Ken Endok kemudian membawa anak yang gres lahir itu ke kuburan di mana terdapat pula makam mendiang suaminya, Gajahpuro.
Bagaimanapun juga, yang mengakibatkan keributan ialah mendiang suaminya itu, yang dengan tidak percayaan dan kecemburuannya telah mendatangkan malu pada dirinya dan agaknya memarahkan Sang Hyang Brahma sehingga tidak pernah muncul kembali! Ia kemudian meninggalkan bayi itu ditengah-tengah tanah kuburan pada malam hari.

Kalau segala hal terjadi menyerupai biasa, sanggup dipastikan bahwa bayi Ken Arok itu akan meninggal dunia,ditinggalkan seorang diri saja di dalam kuburan menyerupai itu. Namun, mati hidup insan merupakan rahasia yang hingga kini belum juga terpecahkan oleh manusia.
Ken Arok ditakdirkan untuk tidak mati diwaktu bayi. Tanpa disengaja, seorang gembong pencuri yang biasa melaksanakan perjalanan melalui tempat-tempat sunyi menyerupai sawah-sawah, hutan-hutan dan kuburan-kuburan, lewat tengah malam
sehabis melaksanakan pencurian, lewat di kuburan itu dan beliau mendengar bunyi tangis bayi.
Cepat dihampirinya bunyi itu, sebagai seorang maling yang sudah biasa melaksanakan perjalanan malam melalui tempat-tempat yang keramat dan angker, beliau tidak merasa takut. Padahal bagi orang biasa,berjalan di malam hari melalui kuburan kemudian mendengar bunyi bayi menangis, sembilan di antara sepuluh
orang tentu akan lari tunggang langgang mencari sobat untuk menjenguknya!

Lembong, demikian nama gembong maling itu, menemukan seorang bayi yang molek sehat dan beliau pun girang sekali. Dia sendiri sudah mendambakan seorang anak dan kini beliau menmukan seorang bayi mungil di kuburan. Dibawanya bayi itu pulang dan diakui sebagai anaknya.
Sekejam-kejamnya harimau, takkan makan anaknya sendiri. Sekejam-kejamnya hati seorang ibu, tak mungkin ia sanggup melupakan anaknya. Setelah meninggalkan anaknya di kuburan, semalam suntuk Ken Endok tak bisa memejamkan matanya. Ia merasa menyesal sekali, merasa berdosa. Akan tetapi ada
keyakinan di hatinya. Bukankah anak itu keturunan Sang Hyang Brahma? Kalau benar, tentu Sang Hyang Brahma tidak akan membiarkan anaknya mati kedinginan atau kelaparan atau dimakan binatang galak di kuburan itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke kuburan itu untuk
melihat apa yang telah terjadi dengan bayi yang ditinggalkan semalam. Dan bayi itu kini telah tiada!

Hati Ken Endok diliputi pertanyaan dan kecemasan, kemudian ia pun pergi mencari di dusun-dusun yang terdekat.
Akhirnya ia mendengar bahwa seorang berjulukan Ki Lembong telah memungut seorang anak laki-laki.
Bukan main girang rasa hati Ken Endok dan semakin tebal keparcayaannya bahwa “bapak” anaknya itu ternyata tidak tinggal membisu dan menolong anak itu.

Ditemuinya Ki Lembong.
Ki lembong dan istrinya menyambut kedatangan perempuan muda yang jelita itu dengan penuh keheranan lantaran mereka tidak mengenalnya. Setelah dipersilakan duduk, sambil memandang bayi yang dipondong Nyi Lembong dan dengan kedua mata basah, Ken Endok kemudian berkata,

“Ki dan Nyi Lembong, ketahuilah bahwa namaku ialah Ken Endok dari Dusun Pangkur dan bahwa anak bayi itu ialah anakku.”
“Ken Endok dari Dusun Pangkur…..? Ah aku, pernah mendengar ihwal andika! Puteri yang dipilih oleh Sang Hyang Brahma….?” Dan tiba-tiba saja Gembong maling itu menoleh kepada istrinya dan memandang jabang bayi yang malam tadi dibawanya pulang.
Ken Endok mengangguk, “Benar, Ki Lembong, dan anak inilah yang kulahirkan. Dia berjulukan Ken Arok, keturunan eksklusif dari Sang Hyang Brahma. Sudah menjadi kehendak Sang Hyang Brahma bahwa Ken Arok kini menjadi anak asuhmu. Periharalah baik-baik, lantaran anak ini akan mendatangkan berkah bagi keluargamu.”
“Tapi…… tapi…. Andika…?”
“Oleh ayahku, saya akan dinikahkan lagi dan saya tidak ingin Ken Arok dipelihara oleh ayah tiri.”
Ken Endok kemudian menghampiri Nyi Lembong dan diciuminya anaknya untuk terakhir kalinya. Ia kemudian berpamit dan pergi sambil manahan isak tangisnya. Tentu saja keluarga Lembong menjadi girang dan gembira bukan main dan Ken Arok menjadi kekasih mereka.
Demikianlah, mulai ketika itu, Ken Arok menjadi anak KI Lembong dan Nyi Lembong, dipelihara dengan penuh kasih sayang oleh keluarga yang pekerjaannya sebagai pencuri itu .
Ada orang yang menyampaikan bahwa seorang insan itu ketika masih bayi, bagaikan sebuah buku tulis yang masih bersih, belum ada goresan pena atau gambarannya. Apa akan jadinya dengan buku tulis itu kelak,atau apa yang akan terjadi dengan anak itu kelak sehabis dewasa, ditentukan oleh isinya dan yang mengisi buku tulis kosong putih higienis itu ialah keadaan sekelilingnya, masyarakatnya, terutama sekali yang paling erat dengannya, yaitu orang tuanya, saudara-saudaranya dan kawan-kawan dekatnya.

Kiranya pendapat menyerupai itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan. Seorang bayi yang semenjak kecil dibiarkan di antara kelompok monyet, dididik oleh monyet, tentu sehabis sampaumur akan bertingkah seperi monyet pula!
Karena itu, sanggup dibayangkan apa jadinya dengan Ken Arok yang semenjak kecil dipelihara oleh keluarga maling!

Setelah pengertian mulai memasuki batinnya, Ken Arok tahu bahwa pekerjaan orang tuanya ialah mencuri harta milik orang lain. Tentu saja hal ini tidak dianggap jelek lantaran ayah ibunya juga menganggap bahwa “pekerjaan” itu ialah suatu perjuangan untuk sanggup mencari makan guna menjaga kehidupan mereka.
Dan lebih celaka lagi bagi anak ini, sehabis anak ini berusia tujuh tahun, beliau pun diajak pergi oleh ayahnya untuk melaksanakan pencurian! Memang amat berkhasiat seorang anak kecil yang pandai diajak pergi untuk mencuri. Pertama, andaikata beliau ditugaskan untuk berjaga di luar, tidak akan ada orang meragukan seorang anak kecil menjadi maling. Dan jikalau beliau ditugaskan ke dalam, gampang baginya
memasuki lubang-lubang kecil atau memanjat genteng tanpa menciptakan banyak gaduh lantaran tubuhnyayang ringan, orang-orang akan tidak sekejam jikalau yang ditangkap itu seorang sampaumur yang melaksanakan pencurian.

Akan tetapi, lantaran lingkungan hidup, lantaran pergaulan, bukan hanya pekerjaan mencuri yang dikenal Ken Arok, melainkan terutama sekali juga perjudian. Anak ini semenjak ada pengertian, mulai gemar berjudi.
Bukan berjudi di antara kanak-kanak, memang demikian permulaannya, kecil-kecilan, akan tetapi lantaran Ken Arok pandai sekali, tak usang kemudian bawah umur tidak ada yang berani berjudi melawan beliau dan mulailah beliau terjun ke dalam kalangan perjudian yang lebih luas, di mana orang-orang sampaumur yang bermain.

Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan mencuri itu tentu saja tidak banyak. Yang dimasuki ialah rumah-rumah orang dusun yang miskin sederhana dan yang dicuri pun hanyalah terbatas pada bahan-bahan masakan dan pakaian saja yang digunakan sendiri dan sebentar saja sehabis Ken Arok gemar berjudi, ludeslah barang-barang ayah ibunya di meja perjudian.
Bersambung
KEN AROK – EMPU GANDRING-5

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel