INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Sundari Bungkah - Asal Mula Pohon Enau

Cerita Rakyat dari Nusa Tenggara Barat


Pada zaman dahulu kala ada sebuah keluarga yang memiliki seorang anak berjulukan Dedara Nunggal. Ketika Dedara Nunggal menjelang dewasa, kedua orang tuanya bercerai. Sejak itu Dedara Nunggal tinggal bersama ayahnya. Namun, sesudah ayahnya kawin lagi, ia mulai mengecap kehidupan pahit dan penuh dengan penderitaan. Ibu tirinya menganggap semua pekerjaan yang dilakukannya selalu salah. Dedara Nunggal pun sering bercekcok dengan ibu tirinya.

Melihat anaknya selalu bertengkar dengan ibu tirinya, sang ayah pun menjadi kesal. Ia kemudian memarahi anaknya, “Anakku Dedara Nunggal, mengapa engkau selalu bercekcok dengan ibu tirimu. Kau memang anak yang badung dan tebal telinga. Mulai dikala ini, enyahlah dari rumah ini. Tinggallah bersama ibu kandungmu!”

“Mengapa ayah hingga hati mengusirku. Bukankah saya darah daging ayah satu-satunya?” jawab Dedara Nunggal.

“Pergi kataku. Jangan kamu bicara lagi!” bentak ayahnya.

“Baiklah ayah, saya akan tinggal bersama ibu,” kata Dedara Nunggal sambil berjalan meninggalkan rumah.

Satu jam kemudian, tibalah Dedara Nunggal di rumah ibunya. Di sana ia hanya bertemu dengan ayah tirinya, lantaran ibunya sedang mencuci pakaian di perigi. Kepada ayah tirinya itu ia berkata, “Ayah, saya telah diusir dari rumah ayah kandungku. Bolehkah saya menetap di sini? Aku akan siap membantu segala pekerjaanmu, ayah.”

“Ah, Dedara Nunggal. Mustahil anak wanita semacam engkau sanggup melaksanakan pekerjaanku. Kukira kamu akan selalu menyantap ocehanku dan bukan nasi yang kamu peroleh. Oleh lantaran itu, sebaiknya kembalilah kepada ayahmu. Aku tak sanggup mengurusmu di sini.”

“Baiklah ayah. Bila ayah tak sanggup menolong, saya akan kembali kepada ayah kandungku.”

“Ya, kembalilah!” jawab ayah tirinya.

Dengan perasaan sedih, Dedara Nunggal alhasil kembali pulang ke rumah ayah kandungnya. Namun, ketika hingga di depan rumah, dari serambi sang ayah sudah menghadang sambil berkata, “Mengapa kamu kembali lagi?”

“Maafkan saya ayah. Ayah tiriku tidak mengizinkan saya tinggal di rumahnya,” Jawab Dedara Nunggal.

“Jadi kamu mau kembali tinggal di rumah ini? Tunggulah, akan kumintakan persetujuan ibumu.”

“Mengapa ayah harus meminta persetujuan ibu tiriku?”

“Ayah tak mungkin tetapkan sendiri. Bukankah beliau yaitu isteriku?” Kata ayahnya sambil berjalan masuk ke rumah. Sampai di dalam, ia bertanya kepada isterinya, “Anakmu Dedara Nunggal ingin kembali tinggal bersama kita. Bagaimana pendapatmu?”

“Ah, saya tak sanggup hidup serumah dengannya. Lebih baik kamu usir lagi beliau dari rumah ini. Mataku sudah sangat jemu melihatnya,” jawab isterinya.

Sesudah itu suaminya keluar lagi dan berkata kepada anaknya, “Anakku Dedara Nunggal, ibumu tidak mau lagi menerimamu. Ayah sudah tak sanggup berpikir lagi. Sekarang, pergilah kamu dari rumah ini.”

“Baiklah, jikalau ayah sudah tetapkan menyerupai itu,” kata Dedara Nunggal sambil berjalan perlahan meninggalkan rumah ayahnya.

Ia berjalan tanpa tujuan ke arah utara menyusuri Sungai Jangkok. Beberapa jam kemudian, sampailah ia di sebuah kerikil besar yang ada di tepi sungai itu. Di atas kerikil itulah ia alhasil duduk melepaskan lelah sambil menyesali nasibnya, “Ah, mengapa demikian jelek suratan takdir atas hidupku. Ibu dan ayah membenciku. Mereka bahkan mengusirku. Sudah tak berarti lagi rasanya hidupku ini. Lebih baik saya menerjunkan diri ke sungai ini, biar tamatlah riwayatku dan tidak lagi mengotori dunia.” Lalu ia menceburkan diri ke dalam sungai.

Saat seluruh tubuh Dedara Nunggal telah karam di air, secara tiba-tiba ia berubah menjadi sebatang pohon dan kemudian hanyut di dibawa air sungai. Pohon itu hanyut ke arah hilir dan mengenai oleh seorang perjaka yang sedang mandi. Terkejut mencicipi ada sebatang pohon asing yang masih lengkap akar dan daunya mengenai tubuhnya, si perjaka berteriak, “Ah, siapakah yang menghanyutkan pohon ini? Tak punya perasaan, tak menghiraukan orang yang sedang mandi di hilir. Mengganggu saja!”

Tiba-tiba ia mendengar suara, “Hai pemuda, tolonglah aku”

“Eh, bunyi siapakah itu?” tanya perjaka itu agak terkejut lantaran tidak ada orang lain yang ada di dekatnya.

“Akulah yang bersuara. Aku yaitu pohon yang mengenai tubuhmu. Bila kamu berkenan menolongku kelak saya akan membalas budi baikmu.”

“Baiklah, tetapi siapa namamu?”

“Namaku Dedara Nunggal.”

Tanpa banyak berkata lagi, pohon itu segera dinaikkan ke darat kemudian ditanam di tepi sungai. Sesudah ditanam perjaka itu bertanya, “Siapakah kamu sebenarnya, Dedara Nunggal?”

“Engkaulah satu-satunya orang bersedia menolongku. Aku yaitu makhluk malang yang tak sanggup menguasai diri. Aku buang tubuhku ke Sungai Jangkok ini. Namun, atas kehendak Tuhan, tubuhku berubah bentuk menjadi sebatang pohon. Nah, kini saya harus berbuat kebaikan kepada umat manusia, alasannya kukira sekaranglah tubuhku ini punya arti. Ketika saya masih berwajah insan saya sama sekali tak berarti. Demikianlah riwayatku. Semua telah kuceritakan kepadamu.”

“Lalu, bagaimana caramu berbuat kebaikan kepada umat manusia?” tanya perjaka yang berjulukan Teruna Nunggal itu.

“Nanti apabila bungaku telah muncul, di dikala itulah saya akan akan membalas budi baikmu yang telah rela menolongku. Dan, di dikala itu pulalah saya akan berbuat kebaikan pada umat manusia”

“Apa yang harus saya lakukan bila bungamu telah muncul?” tanya Teruna Nunggal.

“Kalau saya sudah berbunga, sering-seringlah tiba kemari. Panjatlah batangku dan ayunkanlah bungaku itu. Selanjutnya, pukullah batang bungaku dengan pelepah batang kelapa serta bacalah mantra ini:

O, meme, o, bapa

Anta gini anta gina
Lilir ambika
Beang pianake mayusu
Ane madan Mas Sundari Muncar1

Bila kamu telah selesai melaksanakan hal itu, selipkanlah pemukul itu di antara batang bungaku dengan badanku. Itulah syarat yang harus kamu lakukan biar bungaku sanggup menunjukkan air lebih banyak. Nah, bila bungaku mekar, potonglah dengan didahului mantra:

Nah, akad pacangbukak tiang danggul nyaine
Ane kaja, ane Kelod, Kangin, Kauh
Apang meresidayang maan pianak nyaine manyonyo
Ane madan mas Sundari Muncar2

Apabila bungaku sudah mulai mengalirkan air, setiap kamu hendak memanjat batangku sebutlah namaku dengan sebutan Sundari Bungkah. Sebab sesudah bungaku dipotong, saya berganti nama menjadi Sundari Bungkah. Dan, apabila engkau sudah memanjat, jangan lupa untuk menyuntingkan lip (lidi ijuk) biar saya tidak terkejut. Nah, biar pemberitahuanku lengkap, apabila ada orang hendak merusak kelancaran jalan airku dengan ilmu hitam, pergunakanlah mantra ini untuk menolaknya:

Segara penulak
Keneh anake ngusak yeh Mas Sundari Bungkah
Upet-upet
Segara kelod segara kangin
Palik pinulak Batara Wisnu3


Air yang engkau tampung itu kegunaan utamanya yaitu untuk dijadikan gula. Cara membuatnya, mula-mula masaklah menyerupai engkau memasak air. Setelah airku berbentuk menyerupai bubur, tuangkanlah pada tabung bambu atau tempurung kelapa. Bila telah kering ia akan menjadi gula yang sanggup dipergunakan untuk banyak sekali kebutuhan.

Di samping untuk gula, airku sanggup pula kamu minum seketika lantaran rasanya manis. Dan, bila kamu ingin menciptakan airku menjadi tuak, rendamlah akar kayu bajur di dalamnya. Tetapi, air itu tak lagi terasa manis, dan berubah warna menjadi kemerah-merahan. Dapat juga kamu minum, tetapi hendaklah hati-hati jangan melampaui batas. Bila melewati batas sanggup menjadikan mabuk dan lupa kepada kebenaran.”

Demikianlah, semenjak dikala itu Dedara Nunggal yang telah bermetamorfosis menjadi pohon, sanggup dimanfaatkan oleh insan menjadi gula ataupun tuak. Ia dikala ini juga dikenal sebagai Sundari Bungkah atau yang lazim dikenal dengan nama pohon enau.



Sumber:
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat

1. Mantra ini dinyanyikan bila seorang penarep sedang memukul batang bunga enau. Penarep yaitu orang yang pekerjaannya mengusahakan air nira (enau). Mantra ini terjemahan bebasnya: 

O, ibu, O, ayah, 
Anta Gini, Anta Gina, 
Lilir Abika, 
Berilah anakmu menyusu, 
Yang berjulukan Mas Sundari Muncar. 

2. Terjemahan bebasnya: 

Nah, kini batang bungamu akan kupotong, 
Yang menghadap ke utara, selatan, timur maupun barat, 
Agar anakmu yang berjulukan Mas Sundari Muncar, 
Dapat mengisap air susu. 

3. Terjemahan bebasnya: 

Lautan penolak, niat orang yang merusak airmu, 
Tutuplah tutup, 
Lautan selatan, maupun timur, 
Inilah penonok dari Batara Wisnu.
   

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel