INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Kisah Ki Tunggul Wulung Dan Gunung Limo

SEKILAS KISAH KI TUNGGUL WULUNG DAN GUNUNG LIMO
Cerita dimulai dimana ketika kerajaan Majapahit mengalami kemunduran dan yang menjadi Raja Majapahit ialah Brawijaya V, dimana Putra Brawijaya V menikah dengan seorang putri Cina dan berdasarkan kepercayaan masyarakat Jawa, kalau orang Jawa menikah dengan orang Cina maka orang Jawa tersebut akan kalah dalam segala hal. Brawijaya V menyadari hal tersebut, dia lalu menyiapkan seseorang untuk berjaga-jaga kalau hal tersebut atau huru-hara tersebut benar-benar terjadi. Seseorang yang dipersiapkan tersebut ialah Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul Wulung untuk bersemedi di Gunung Lawu. Ki Tunggul Wulung berangkat ke Gunung Lawu sehabis mendapatkan instruksi Brawijaya V, sesampainya di Gunung Lawu, Ki Tunggul Wulung bertemu dengan Pandito atau seseorang yang sakti.
Di ketika itulah Agama Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir utara Pulau Jawa, sebab tidak ingin masuk Islam ketiga saudara Ki Tunggul Wulung yaitu Ki Brayut, Ki Buwono Keling, Ki Tiyoso. Namun, mereka berempat bukan Saudara Kandung melainkan Saudara satu perguruan. Ki Brayut, Ki Buwono Keling dan Ki Tiyoso melarikan diri ke daerah selatan sesuai dengan petunjuk gurunya, “Berjalanlah selama 40 hari dan sehabis mencapai tempat yang tinggi lihatlah kearah bawah kalau kalian melihat tempat yang datar, tempat itulah yang dinamakan “Alas Wengker Kidul”. Seampainya di Wengker Kidul perjalanan mereka dibagi menjadi tiga yaitu, Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan.
Singkat dongeng Majapahit mengalami huru-hara besar dan Ki Tunggul Wulung turun gunung, namun dia tidak bisa memadamkan huru-hara tersebut lalu Ki tunggul Wulung tetapkan untuk mencari ketiga Saudaranya dengan meminta petunjuk dari Sang Guru namun Sang Guru dalam keadaan kritis dan dalam hembusan nafas terakhirnya ia berpesan untuk menggali makam dengan tongkatnya.
Setelah insiden tersebut Ki Tunggul Wulung mencari ketiga saudaranya dan sampailah di tempat yang dinamakan Astono Genthong, dari situ ia melihat gunung yang berjajar empat ( tidak lima kalau dilihat dari Astono Genthong ). Kemudian ia mempunyai firasat kalau saudaranya berada di formasi gunung tersebut, namun sesampainya di gunung tersebut ia tidak bertemu saudaranya.
Dari formasi gunung yang berjumlah lima salah satunya ialah tempat untuk bertapa atau bersemedi atau juga teteki. Dikisahkan pula Kyai Tunggul Wulung ialah orang pertama yang membuka lahan atau babad bantalan disekitar lereng gunung Limo untuk mencapai lokasi pertapaan harus melewati banyak rintangan menyerupai tangga (ondo rante) selain itu kita harus menembus hutan lebat, tebing yang terjal serta Selo Matangkep.
Selo Matangkep ialah sebuah celah sempit diantara watu besar yang hanya cukup dilewati sebadan orang saja, dipintu masuk Selo Matangkep tersebut dipercaya apabila ada pengunjung yang berniat jahat maka ia tidak akan bisa melewatinya, sementara itu bagi yang berniat baik untuk berkunjung ke pertapaan kendati tidak mungkin ia berbadan besar maupun kecil bisa melewatinya. Selain itu masih banyak sejuta aura gaib lainnya sebagai cermin keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
UPACARA TETAKEN...
Kali ini budaya khas masyarakat Pacitan itu berasal dari lereng gunung limo di Kecamatan Kebonagung. Keyakinan masyarakat sekitar Gunung Limo yang masih menganggap mempunyai nilai magis diwujudkan dengan bentuk upacara atau ritual di daerah tersebut. Namanya ialah upacara Tetaken. Upacara ini dilaksaakan masyarakat Gunung Limo setiap tanggal 15 Muharram/Suro.
Upacara berbentuk ritual ini sudah turun temurun dilaksanakan masyarakat di lereng Gunung Limo, tepatnya berada di Desa Mantren Kecamatan Kebonagung, Pacitan. Ritual upacara Tetaken ini merupakan upacara higienis desa atau sedekah bumi. Model dari ritual ini ialah ketika sang juru kunci Gunung Lima, Somo Sogimun, turun gunung. Bersama 16 anak buahnya, yang sekaligus murid-muridnya. Mereka gres selesai menjalani tapa di puncak gunung dan akan kembali ke tengah masyarakat. Tetaken ialah tradisi khas masyarakat kaki Gunung Lima yang masih dipelihara dengan baik hingga ketika ini. Bagi masyarakat Pacitan, Gunung Limo ialah simbol kekuatan dan nilai spiritual, sehingga ritual tetaken menjadi budaya yang unik bernuansa spiritual juga.
Tetaken berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti teteki atau maknanya ialah pertaapaan. Tak heran, dalam pelaksanaan ritual ini, suasana religius yang kental namun sederhana menandai ritual ini. Sejarah Upacara ritual tetaken ini bermula dengan kisah, ketika Tunggul Wulung bersama Mbah Brayat mengembara. Tujuan, melaksanakan dedikasi dan membuatkan agama Islam di Tanah Jawa sehabis bertapa di Gunung Lawu. Namun, dalam perjalanan, dua orang ini berpisah. Mbah Brayat menentukan tinggal di Sidomulyo, sementara Kiai Tunggul Wulung menentukan lokasi yang sepi di puncak Gunung Lima Kebonagung. Diceritakan juga bahwa Kyai Tunggul Wulung ialah orang pertama yang melaksanakan tebang bantalan di daerah Gunung Lima yang kelak lalu disebut Mantren.
Dalam pelaksanaannya, tetaken ialah program pembuka rangkaian program berikutnya, tak usang sehabis rombongan turun, iring-iringan besar warga muncul, memasuki areal upacara. Mereka mengenakan pakaian budbahasa Jawa. Barisan paling depan ialah pembawa panji dan pusaka Tunggul Wulung dengan dua keris, satu tombak, dan Kotang Ontokusumo. Selain membawa banyak sekali hasil bumi dan keperluan ritual (tumpeng dan ingkung, misalnya), di baris terakhir beberapa orang tampak membawa bumbung (wadah air dari bambu) berisi legen atau nira (air yang diperolah dari pohon aren). Saat berada di tempat acara, secara bergilir para pembawa legen menuangkan isi bumbungnya ke dalam sebuah gentong yang diyakini bermanfaat untuk kesehatan. Kemudian sehabis semua penunjang ritual berada ditempat acara, program inti pun segera dimulai. Sebagai tanda kelulusan, ikat kepala para murid itu dilepas. Murid-murid itu satu persatu diberi minum air dari sari aren tersebut.
Selanjutnya, secara bergilir, para murid tersebut menghadapi tes mental dengan penguasaan ilmu bela diri, serta kadang – kadang mendapatkan cambukan. Prosesi tersebut bermakna bahwa tantangan bagi pembawa aliran kebaikan tidaklah ringan, harus menghadapi ujian dan rintangan yang berat. Namun semua karenanya sanggup diatasi, dan pada karenanya kebaikan bisa mengalahkan kejahatan.
Pada tamat acara, semua warga melaksanakan tarian bersama Langen Bekso dengan cara berpasangan. Tua muda. Laki-laki dan wanita larut dalam kegembiraan. Gending-gending Jawa mengiringi setiap gerak langkah mereka. Kegembiraan masyarakat bertambah sebab hasil panen di bumi Desa Mantren yang melimpah untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Itulah sedikit dongeng perihal Upacara ritual tetaken yang dilakukan warga di Gunung Limo yang mempunyai nilai kesakralan tersendiri dan menambah kekayaan budaya Pacitan. Jika anda tertarik melihat eksklusif upacara ritual tetaken ini, tiba saja ke Mantren Kebonagung setiap tanggal 15 Muharram.

INFO LOWONGAN KERJA TERBARU KLIK DISINI

Iklan Atas Artikel


Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2


Iklan Bawah Artikel